Kabut Peradaban Manusia dan Alam

Seberapa besar kita bergantung pada alam? Jawabannya tentu saja sangat-sangat-sangat-sangat-100x sangat bergantung pada alam. Tanpa alam, belum tentu kita bisa hidup senyaman -katanya- seperti saat ini.
Itulah yang Anil coba terangkan kepada teman-teman di Rabu Belajar KSK. Anil yang merupakan relawan dari YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi) begitu bersemangat menjelaskan bahwa sebenarnya kita tahu bahwa kita sangat membutuhkan alam untuk menunjang kebutuhan hidup manusia.

Kita semua tahu bahwa dalam kodratnya manusia bernafas, makan, minum, tidur, bahkan ee segala, selalu ada alam disamping kita. Lalu, pernahkah kita berpikir dan merenung tentang dari mana udara yang kita hirup berasal? Dari mana air yang kita minum berasal? Dari mana makanan yang kita makan berasal? Dari mana rumah yang kita bangun berasal? Dari mana komputer yang saat ini sedang saya tatap berasal? Tidakkah semua itu berasal dari alam? Apakah ada suatu kebutuhan hidup kita yang pada akhirnya tidak berasal dari alam?
Namun pada prakteknya hal tersebut sukar untuk dipahami. Karena…
Alam dipandang tidak berharga.

Ya, kita terlalu “terbiasa” mendapatkan manfaat dan layanan dari alam sehingga kita sering “lupa” betapa kita “bergantung” pada alam. Setiap harinya kita menghirup udara dengan gratis tis tis tis. Saking gratisnya kita tidak merasa kekurangan akan stok udara yang ada tanpa memperdulikan kualitas yang terkandung di dalamnya. Kita juga merasa senang saat alam tersaji sebagai tempat bersantai, berwisata, dan bermain sehingga lupa bahwa ia sebenarnya sumber kehidupan yang utama.

Ketika manusia mulai menapaki hidupnya di muka bumi, dan para ahli menyebutnya dengan abad kegelapan, manusia mengambil sendiri sumber makanannya langsung dari alam. Seiring bertambahnya kecerdasan untuk berpikir, manusia lalu mulai mencoba mengembangkan perolehan hasil alam secara kontinuitas dengan cara bercocok tanam. Semakin meningkatnya kebutuhan, manusia akhirnya menciptakan lapangan kerja baru yaitu pasar sebagai tempat untuk menampung, barter hingga akhirnya kita mengenal istilah niaga terhadap hasil alam tersebut dan barulah bisa kita nikmati setelah membeli tentunya. Lalu memasuki zaman yang serba modern ini manusia bukan saja menghasilkan jenis-jenis makanan yang beragam tapi juga membutuhkan makanan yang tahan lama, hingga akhirnya muncullah industri-industri yang mengolah lalu mendistribusikan ke pasar, swalayan, supermarket, dan tempat lainnya hingga akhirnya bisa dinikmati oleh manusia.

Kita memang tidak sadar bahwa sebenarnya hubungan kita dengan alam semakin jauh dan semakin sulit untuk dipahami. Dan disinilah kita menyebutnya sebagai “KABUT PERADABAN” dimana manusia tidaklah bergantung kepada alam akan tetapi menguasai alam hingga akhirnya manusia justru sangat bergantung sekali pada hal-hal “artifisial” seperti uang dan benda-benda lainnya.

Entah sampai kapan kabut peradaban ini akan terus menyelimuti. Mungkin pada saat manusia tidak lagi bisa menikmati udara dengan gratis, maka pada saat itulah kita sebagai manusia yang berpikir dan berakhlak budi akan merasakan betapa berharganya alam kita ini untuk dijaga.

Semua ini belum terlambat kawan. Selama hayat masih dikandung badan, selalu ada kesempatan bagi kita untuk lebih bijak terhadap alam dan mensyukurinya.

Terimakasih kepada Anil, kang Afif dan YPBB yang telah mengugah rasa untuk menghargai setiap bulir udara yang telah diberikan oleh alam, kepada seluruh umat manusia.


2 tanggapan untuk “Kabut Peradaban Manusia dan Alam”

    • eh ada mbak dan berkunjung, terimakasih sudah memuji… padahal mah ga ada yang pantes dipuji hehehe….

      oh dengan senang hati dimasukkan ke blogroll (ngarep pisan malahan), sebagai gantinya yang mbak dan juga bakal saya gulinggulingblog… hehehehe

Tinggalkan komentar