Dua hari di Desa Songa, listrik padam, tidak ada toilet, gunung berbatu, berbasah ria di sungai, hujan deras mendera. Tapi setidaknya kami masih bisa pulang dengan senyum dan tawa. Well done guys!!
Tag: yaki
-
Setiap kali melihat bayi bayi monyet yang baru lahir, saya selalu keingetan sama filmnya Curios Case Benjamin Button. Pada dasarnya bayi bayi monyet yang baru lahir memang lucu, tapi kalau melihat kerut keriput di wajahnya yang terbayang adalah, mereka melewati fase tua telebih dahulu.
Di bawah ini adalah salah satu foto bayi monyet Yaki yang saya temui di Pulau Bacan. Kira kira bagaimana pendapatmu?
Saya sependapat untuk mengatakan bahwa bayi bayi monyet ini memang lucu lucu. Akan tetapi, terkadang ada cerita pilu dibalik itu semua.
Foto di atas begitu mudahnya saya dapatkan, bahkan dari jarak yang sangat dekat. Mengapa mudah, karena si bayi monyet di atas tak lagi memiliki ibu yang senantiasa selalu menjaganya.
Cerita yang saya dengar dari orang yang memelihara monyet di atas adalah karena si induk melarikan diri dan tak sengaja menjatuhkan anaknya ketika mendapati si pemiliki kebun mengusirnya. Mungkin masuk akal juga karena saking kagetnya sampai sampai dia lupa akan anaknya yang belum bisa berpijak dengan sempurna.
Di lain tempat, cerita ini akan sedikit berbeda ketika ada orang yang memelihara bayi Orangutan, Owa atau Kukang. Jika ada orang yang memelihara bayi dari ketiga jenis primata tadi, maka dipastikan bahwa induknya telah meregang nyawa melindungi anak mereka.
Kira kira apa pendapatmu tentang gambar bayi monyet yang di bawah ini?
-
Nama desa tujuan kami kali ini adalah Amasing Kali. Tapi Harry sering memelesetkannya dengan sebutan Amazing.
Sebenarnya waktu masih jaman Belanda dulu, nama desa di sini bukanlah desa Amasing Kali melainkan Amasing Karet, kata bapak Kepala Desa. Berhubung pohon karetnya sudah tidak banyak lagi dan yang tersisa hanya tinggal sungainya, maka nama desa berganti menjadi Amasing Kali.
Seperti survey hari hari sebelumnya, kami dibagi menjadi dua tim dengan arah jalur yang berbeda. Partner saya kali ini adalah mas Gaetan, pak Polhut Waka dan seorang pemandu dari desa.
Selama jam pengamatan hingga tengah hari, tidak banyak rintangan yang kami lalui. Semuanya lancar dan mudah karena kami menggunakan jalur yang sering dipakai masyarakat ketika masuk hutan.
Sayangnya, kemudahan tersebut tidak dibarengi dengan penampakan yaki. Tidak seekor pun yaki berhasil kami temukan. Okelah, ada beberapa suara yang kami dengar dan kami yakin adalah suara yaki. Tapi tidak satupun dari mereka menampakan dirinya.
Tengah hari setelah usai pengamatan, kami memutuskan untuk kembali pulang. Pemandu lokal kami menyarankan untuk menggunakan jalur yang berbeda, katanya lebih dekat pulang ke desa kalau mengikuti sungai ketimbang jalur yang kami lalui sebelumnya. Dan ada kemungkinan kami bisa bertemu dengan yaki di sungai.
Menurut kami itu ide yang bagus karena hutan sekitar desa Amasing Kali bisa terjelajahi.
Di perjalanan pulang kami bertemu dengan penduduk desa yang memiliki pondok di pinggir hutan. Dalam perbincangan singkat kami mendapatkan informasi bahwa tadi pagi ada sekelompok yaki yang masuk ke kebunnya. Bukan hanya itu saja, petani tersebut ternyata menyimpan seekor bayi yaki.
Kata beliau, bayi tersebut terjatuh dari induknya ketika dia berusaha mengusir kawanan yaki yang merusak kebunnya. Karena merasa kasihan, si petani kemudian mengambil dan membawanya ke pondok.
Saya bertanya mengenai apa yang akan dia lakukan pada bayi tersebut selanjutnya?
Dengan ringan dia menjawab akan menjualnya di pasar seharga 300.000. Sedih saya ketika mendengar jawaban tersebut, apalagi si bayi ini masih sangat mungil dan tak berdaya untuk menjejakkan kakinya. Saya tidak yakin kalau bayi ini akan bertahan hidup lama dalam asuhan si petani atau siapapun yang membelinya nanti.
Saya tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan si bayi mungil tersebut. Menyelamatkan dengan cara membelinya justru akan membuka peluang si petani untuk memburu lebih banyak lagi.
Kami lalu melanjutkan perjalanan pulang, namun rasa sedih ternyata terus berlanjut. Bukan hanya tentang nasib si bayi mungil tapi juga nasib kami. Si pemandu ternyata tidak menjelaskan lebih detail mengenai “pulang mengikuti sungai”. Kami mengira bahwa ada jalur di sepanjang sungai menuju desa, ternyata bukan itu yang dia maksud. Yang dia maksud dengan pulang mengikuti sungai adalah berjalan di dalamnya.
Dia bilang tidak jauh. Hanya satu jam saja di sungai.
Yup, satu jam di Amazing River.
-
Yeah!!!
Akhirnya saya bisa melihat mereka. Monyet monyet hitam sulawesi berjambul yang merantau ke Pulau Bacan, Maluku Utara. Dan mereka begitu malu malu untuk bertatap muka.
Gambar di bawah ini adalah satu satunya foto yang bisa saya ambil dengan cukup baik. Sisanya kabur semua.
Tidak mudah untuk mendapatkan foto mereka di alam. Mereka masih takut dengan kehadiran manusia di dekatnya. Kebanyakan dari mereka malah bersembunyi di atas pohon di balik rerimbunan daun, lalu pergi menjauh.
Setidaknya, perjumpaan singkat ini menjadi obat lelah terbaik setelah seharian kemarin bergulat di neraka rawa.
Senang bisa berjumpa dengan kalian wahai monyet, tetaplah lestari!
-
Hal pertama yang ingin saya lakukan di Bacan adalah bertemu dengan monyet monyet hitam berjambul. Sayangnya, rencana kerja yang sudah disusun menempatkan saya untuk masuk ke hutan setelah dua hari survey desa.
Hari pertama dan hari kedua saya dihabiskan dengan mengetuk dan menyapa dari rumah ke rumah. Meminta kesediaan waktu pemilik rumah untuk ditanya tanya mengenai aktivitas dan pengetahuannya mengenai sumber daya alam di sekitarnya.
Saya memang tidak suka dengan tugas wawancara. Bukan karena saya anti habluminannas, hanya saja pekerjaan ini terkadang selalu membuat saya membawa opini pribadi ke dalam setiap pertanyaan yang diajukan agar si responden menjawab seperti apa yang saya harapkan. Tentu saja hal ini sangat tidak baik bagi data yang dihasilkan, karena ada nilai bias yang besar di dalamnya.
Ditambah lagi kalau mendapatkan responden yang tidak kooperatif, misal tidak menaruh perhatian untuk mendengarkan pertanyaan yang diajukan, mengharapkan balas jasa, menggunakan bahasa yang sulit dimengerti dan punya tatapan yang mengerikan. Jika itu semua bercampur menjadi satu pada salah seorang responden, maka ketika saya membalikkan kertas kuesioner saya langsung menutup sesi dengan ucapan, “Terima kasih Pak, atas waktunya..”
Keterbatasan sumber daya manusia lokal memposisikan saya untuk mau tak mau harus mau melaksanakan tugas ini. Dari enam orang anggota tim yang ada, hanya dua orang plus satu orang setempat yang bisa. Meskipun pemimpin ekspedisi ini cukup lancar dalam berbahasa, ia tidak cukup pede untuk menggunakannya dalam wawancara. Kesulitannya bukan pada mengajukan pertanyaan, tapi mendengarkan jawabannya.
Target wawancara mengharuskan saya untuk mendapatkan 10 orang responden dalam satu hari. 10 responden memang tidak banyak, tapi lumayan cukup sulit juga untuk mendapatkannya. Terlebih lagi pada pagi hari ketika masyarakat desa (terutama bapak bapak) cenderung sibuk dengan pekerjaannya di kebun dan baru selesai tengah hari atau menjelang sore.
Tidak banyak responden yang bisa di dapat pada sesi pagi. Parahnya lagi, pada sesi siang justru ujian terberat dimulai. Mengantuk dan malas panas.
Pertanyaan pertanyaan yang diajukan sebenarnya tidak terlalu sulit, seperti seberapa sering responden masuk hutan, seberapa sering bertemu dengan Yakis (sebutan lokal untuk monyet hitam berjambul), apakah mereka pernah makan daging binatang dari hutan, dan apa yang mereka lakukan bila Yakis masuk kebun.
Selain itu pula ada beberapa gambar Yakis dalam beberapa situasi yang ditunjukkan ke responden. Dari gambar tersebut, responden ditanya perasaan hatinya. Apakah biasa saja, senang, sedih, marah atau takut.
Kak Junita sedang memperlihatkan media gambar kepada responden
Penggunaan media gambar lebih efektif dibandingkan pertanyaan pertanyaan yang kadang sangat membingungkan untuk dicerna bagi masyarakat desa yang lugu dalam pemahaman bahasa formal. Menyederhanakan kalimat terkadang malah mengarahkan responden untuk menjawab seperti yang saya harapkan. Dan ini sangat tidak bagus untuk data.
Tugas wawancara memang bukan saya banget. Walau begitu saya bisa menyelesaikannya dan mencoba menikmati sestiap sesi yang membuat saya hapal urutan pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner.
Here is my favorite question,
“Apalah Bapak pernah melihat Yakis?”