ULANG TAHUN BERDARAH

Tema Rabu Belajar minggu ini adalah, berdarah-darah.

Maksudnya berdarah-darah bukan berarti kita-kita bakal berantem-beranteman, pukul-pukulan atau hajar bleh-hajar blehan. Tapi Teman-teman Sahabat Kota diundang untuk berdonor darah langsung di posko donor darah Bandung yaitu PMI jalan Aceh.

Nah yang bikin seru acara ini adalah, kami-kami hendak membuat sebuah surprise buat salah seorang teman Sahabat Kota yang kebetulan sekali pada hari itu berulang tahun.

Namanya Haris. Kata Agni sih dia sering sekali berkontribusi dalam menyebarkan undangan via facebook dan update-update gitu deh. Maklum dia punya akses internet yang lumayan sering.

Lalu persiapan dan rencana itu pun akhirnya dimatangkan oleh saudari Kandi yang akan membawakan kueh Ulang Tahun spesial untuk Haris yang merayakan hari jadinya yang ke 25.

Haris datangnya telat, ternyata dia salah naik angkot dan terpaksa jalan kaki untuk bisa sampai ke lokasi PMI. Justru karena telatnya itu kami bisa lebih fokus terhadap rencana yang sedang disiapkan.

Setelah Haris datang dan akhirnya ikut mengisi formulir donor darah untuk yang pertamakalinya serta menunggu panggilan suster-suster PMI yang sedang mengecek kondisi perdarahan Haris. Kami-kami bersembunyi di ruangan kue Marie, sambil bersiap-siap.

Image076 sebelum tertusuk Image077 sedang ditusuk

Tibalah giliran Haris menuju Kasur Berdarah. Sebagian dari kami lalu sibuk mendampingi Haris merasakan pengalaman pertama mendonor sekaligus mem-blocking pandangan Haris agar ia tidak melihat kue yang hendak kami bawa.

Niatnya mau bikin SURPRISE eh malah justru kami yang SURPRISE.

Image079
wajah pucat bibir biru kesadaran melayang
Image082
kue kejutan yang tak jadi tampil

Baru setengah labu terisi, kondisi Haris tiba-tiba diluar dugaan. Wajahnya pucat, bibirnya biru, kesadarannya entah kemana.

Padahal waktu itu say a sedang mengiringi Mita yang tengah membawakan kue yang sudah dinyalakan lilin agar tidak terlihat. Melihat kondisi yang tiba-tiba darurat, si suster pun tiba-tiba memanggil pria-pria yang ada di sekitar situ untuk segera menghampiri dan membantunya memindahkan Haris ke kasur lain.

Kue kejutan pun akhirnya tak jadi muncul. Tanpa hitungan mundur, Mita lalu berbalik arah menyembunyikan kembali kue yang sudah direncanakan.

Suasana jadi mencekam. Haris seperti hilang kesadaran.

Dibopong oleh bapak petugas di sana, Haris dipindahkan ke Kasur perawatan gawat darurat.

SURPRISE menjadi SURPRISE SEKALI.

Image080

Sejenak kami memberikan ruang untuk Haris beristirahat. Berkumpul kembali di ruang kue Marie.

The Show Must Go ON…

Kami menunggu perkembangan situasi Haris, apakah ia sudah kembali pulih atau belum.

Dan… setelah Haris pulih, semangkuk kue Soerabi berhiaskan Lilin dan Coklat Chaca mengiringi lagu serta ucapan selamat ULANG TAHUN. Suasana PMI yang biasanya sepi mendadak ramai. Para suster turut tersenyum melihat apa yang tengah kami lakukan.

Image083
soerabi cake on the blood 

first cake untuk Unang ter….

Mudah-mudahan ini jadi SEPEREMPAT ABAD yang berkesan untuk HARIS. Selamat Ulang Tahun teman, semoga engkau tidak kapok mendonorkan darahmu.

Dibalik Layar RABU BELAJAR BANDUNG LAUTAN API

DSC_7928ed

Senin, 22 Maret 2010

Merangkum kisah perjuangan Laswi

Selasa, 23 Maret 2010

Kami menonton film Bandung Lautan Api milik Bandung Heritage. Ada dua film, satu yang dibuat oleh Belanda sebagai propaganda kekejaman kaum pribumi dan satunya lagi dari Trans TV berdasarkan arsip nasional.

Menonton film yang dimaksud tujuannya untuk memastikan waktu acara pada saat pemutaran film esok (Rabu, 24/03/10).

Sepulang dari markas BH, kami kembali ke markas DU 65. Di sini saya dijebak oleh para perempuan-perempuan penghuni DU 65. Saya dijebak agar tidak pulang. Dan itu semua diperkuat dengan hujan deras yang mengguyur Bandung di malam hari.

Akhirnya saya menemani si Barbara menyelesaikan tugasnya untuk membuat bahan presentasi acara besok Rabu.

scn157

Rabu, 24 Maret 2010

Pukul lima pagi. Tidur sejenak si Barbara kebablasan. Bahan presentasi masih sedikit belum beres. Tapi masih ada waktu hingga pukul 12 nanti siang.

Riweuh-riweuh si Barbara muncul gara-gara foto nenek Tuti yang lupa ia simpan.

Saya malas mandi. Berhubung tidak pulang dan tidak bawa baju ganti, saya tetap pede dengan tampang kucel bin leudeuk.

Pukul 12 siang. Saya dengan Radix dan Shomiyatul Azizah berangkat menuju rumah nenek Tuti di Jalan Katabrata. Alamat rumah nenek pejuang satu ini sepertinya mengambil nama gadisnya, Katabrata. Sesudah menjemput nenek Tuti, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah nenek Sartje di Jalan Intan Sadang Serang. Proses penjemputan lancar hingga akhirnya kami sampai lebih cepat daripada waktu perjalanan yang kami asumsikan.

DSC_7724ed

Pukul 2 siang. Acara Rabu Belajar dimulai. Undangan Alhamdulillah banyak sekali. Di luar dari yang kami khawatirkan sebelumnya. Agni kebagian bercerita tentang apa itu Sahabat Kota, Barbara bercerita tentang rangkaian Rabu Belajar BLA yang sudah dilakukan minggu-minggu sebelumnya. Sedangkan saya sendiri, sedikit bercerita tentang apa itu LASWI. Maksudnya sih biar si nenek tidak harus cerita dari awal lagi.

Pukul 4 sore. Hujan sepertinya hendak turun. Tapi nggak jadi karena ada Ismail Agung yang tidak mandi hari itu. Hehehe (nggak mandi kok bangga). Diskusi dengan nenek Tuti dan nenek Sartje berlangsung seru. Meskipun usia mereka sudah lebih dari setengah abad, tapi jika memperhatikan pembicaraan keduanya yah ribut-ribut di antara mereka berdua tampak seperti anak-anak SMP. Yah hampir sama seperti anak SMP yang hadir sebagai tamu undangan Rabu Belajar.

Pukul 6 petang. Acara berjalan dengan lancar. Banyak kekhawatiran yang dapat terlewati dengan baik melalui spontanitas-spontanitas yang dilakukan selama acara berlangsung. Kami tak menduga bahwa acara yang awalnya tidak muluk-muluk dengan jumlah peserta yang alakadarnya ternyata disambut dengan liputan dari STV bersama Aang Teaaa…

DSC_7685cred

numpang eksis ah…

UNDANGAN RABU BELAJAR SAHABAT KOTA

so-called poster

Yuk, teman-teman, selama kita masih ada di Bandung, kita lebih mengenal kota ini, dan lebih mencintainya dengan memberikan kontribusi positif! biar kecil tapi kita berbuat, tidak hanya protes. jadi, keberadaan kita di Kota Bandung inipun menjadi berarti dan bermanfaat.

Komunitas Sahabat Kota mengundang teman-teman untuk menghadiri Rabu Belajar spesial Bandung Lautan Api 😀

24 Maret 2010

Selasar Sunaryo Artspace

2.00 – 5.00

acara:

1) pemutaran film dokumenter Bandung Lautan Api (bekerjasama dengan Bandung Heritage),

2) sesi bertanya-tanya dan berbagi pengalaman dari Ibu Tuti dan Ibu Saartje, mantan pejuang (Laskar Wanita Indonesia)

   juga ada Kang Tubagus Adhi dari Bandung Heritage dan Pak Sunaryo pembuat stilasi Bandung Lautan Api dan Monumen      Tegalega

kenapa kamu harus datang?

selain karena acara ini GRATIS, kita akan berbagi pengetahuan dan wawasan tentang Kota Bandung, sehingga suatu saat kita bisa berkontribusi positif pada perubahan Kota Bandung kita 😀

NENEK TUA ITU DULUNYA PEJUANG

Hujan siang Bandung. Ada asap, tak ada api. Hanya mengusir nyamuk-nyamuk nakal.

Siang hari ini saya berkesempatan lagi untuk bertemu dengan salah seorang veteran perang yang dulu tergabung dalam LASWI.

Nama beliau adalah Euis Sariah. Beliau biasa dikenal dengan nama Sartje. Masih satu angkatan dengan Ibu Tuti Amir yang saya bahas dipostingan sebelumnya. Usianya terpaut tiga tahun lebih tua dari Ibu Tuti Amir.

Memanggilnya dengan sebutan Ibu sepertinya kurang tepat. Karena usia saya justru seusia dengan cucu paling kecilnya. Dan beliau kini sudah memiliki satu orang cicit. Bisa kebayang kan berapa usianya saat ini.

Di usia yang justru kebanyakan orang tampak sangat renta, beliau masih cukup segar untuk melewati hari-hari kemerdekaan, tanpa perlu mengangkat senjata, desing peluru bahkan dentuman mortir yang membuatnya menderita tromelvlies pecah yang mengakibatkan pendengarannya tak normal lagi.

Meskipun begitu, pembicaraan kami dengannya untuk mengundang beliau hadir dalam Rabu Belajar Sahabat Kota dapat tersampaikan dengan baik. Beliau cukup apresiatif untuk hadir bersama dengan Ibu (ups) nenek Tuti dan berbagi cerita tentang Laswi serta perjuangan Bandung Lautan Api.

Kisah perjuangan beliau di Laswi mungkin lebih banyak, mengingat beliau lebih lama berkecimpung di Laswi hingga tahun 1948. Tidak seperti perempuan lainnya yang seusai Bandung Lautan Api segera dinikahkan oleh orangtuanya karena khawatir bahwa anak gadisnya semakin terseret ke dalam arus peperangan. Beliau tetap bertahan hingga perjalanan pulang dari Jogja menutup cerita perangnya.

Sekembalinya beliau dari Jogja, beliau meneruskan pendidikan di Sekolah Guru. Sempat beliau merasa tidak kerasan di sekolah karena guru yang mengajar masih orang Belanda. Beruntunglah guru-guru Belanda itu tidaklah sekeji para tentara yang beliau benci.

Bukan sekedar nenek biasa.

Selain seorang pejuang di garis depan pertempuran, beliau juga adalah seorang atlit lari dan lempar cakram di waktu muda. Maka saya tak heran bila melihat beliau masih tampak segar bugar di usia senja meski tak tampak deretan gigi putih berseri di antara senyumnya. Selain itu pula, beliau masih tetap aktif untuk bekerja setiap hari pulang pergi dari Sadang Serang ke Cibeureum (Cimahi) bekerja di kantor Korps Wanita Veteran Republik Indonesia sebagai Bendahara yang tak ada uangnya.

Beliau memang bukan sekedar nenek biasa.

Saya tak sabar untuk mendengar lebih lanjut mendengar cerita beliau di Rabu Belajar saat Berjuang demi Bandung. Sebuah cinta untuk kota.

Dalam Perang, Wanita dan Pria itu Sama

Bagi orang Bandung, mendengar kata Laswi pastinya bukanlah sesuatu yang cukup asing. Nama Laswi dipergunakan sebagai nama salah satu jalan besar yang terbentang dan bersambungan dengan jalan Pelajar Pejuang.

Baik Laswi maupun Pelajar Pejuang, kedua nama tersebut memiliki ikatan sejarah yang kuat dalam kisah perjuangan Kota Bandung. Namun tidak banyak orang yang tahu. Termasuk saya.

Saya baru tahu jika Laswi, jalan yang sering saya lalui saat bersepeda ternyata bukanlah sebuah nama orang. Laswi merupakan organisasi Perlawanan Rakyat yang tidak dijiwai oleh sesuatu ideologi politik, tumbuh sebagai perwujudan hasrat rakyat yang meluap-luap untuk turut serta mengisi dan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Dalam perang, wanita dan pria itu sama. Itulah yang mengilhami Alm Ibu Aroedji untuk membentuk Laskar Wanita. “Pria dan wanita harus seia sekata dalam membela Negara.” begitulah ucapannya ketika mengutarakan alasan keinginannya membentuk Laskar Wanita kepada suaminya Aroedji Kartawinata yang juga menjabat sebagai pimpinan tertinggi Divisi III Tentara Keamanan Rakyat.

Ide tersebut mendapat tanggapan positif dan disetujui. Dan pada tanggal 12 September 1945, Laswi resmi dibentuk dan bermarkas di Gedung Mardi Hardjo di Jalan Pangeran Sumedang atau yang saat ini orang Bandung kenal denga Jalan Oto Iskandardinata. Langsung di bawah pimpinan Ibu Aroedji.

Para Laskar Wanita itu sendiri berasal dari pelajar putri dari berbagai sekolah menengah yang ada di Bandung dan beberapa ibu-ibu dari Fujingkai. Mereka diberi pelajaran mengenai kemiliteran seperti bongkar pasang senjata, menembak dan bela diri.

Jumat (19/03/10) kemarin saya dan teman saya Agni berkesempatan untuk bertemu dengan salah satu veteran perang yang dulunya tergabung dalam LASWI. Beliau kami kenal dengan nama Ibu Tuti Amir, atau Tuti Kartabrata nama gadisnya. Ingatannya masih cukup segar akan kisah perjuangan yang dulu pernah ia dan rekan-rekannya lalui. Sebuah pengorbanan untuk negeri tercinta. Meski ia adalah seorang wanita.

Usianya baru 18 tahun. Begitulah akunya. Ya, masih tampak seperti 18 tahun, segar bugar, bicaranya masih cukup jelas dan lantang, dan yang pasti obrolan kami cukup nyambung meski membahas sebuah peristiwa yang sudah berpuluh-puluh tahun terlewati.

Dalam rangka menyambut peristiwa Bandung Lautan Api yang jatuh pada tanggal 24 Maret nanti, teman-teman Sahabat Kota bermaksud mengundang beliau untuk hadir dalam kegiatan rutin Rabu Belajar sebagai salah satu pelaku sejarah dan berbagi cerita kepada kami para pemuda-pemudi masa kini tentang kisah dan semangat perjuangan yang telah dilakukan Ibu Tuti bersama rekan-rekannya demi kota Bandung tercinta.

Kisah perjuangan beliau memang belum banyak terceritakan pada saat kami berkunjung. Namun dari sedikit obrolan itu saya seperti terbawa hanyut akan kisah masa lalu beliau yang lugu dan polos ikut turut mengangkat senjata walau harus bermain kucing-kucingan dengan orangtua.

Bukan sekedar kisah heroik, hal-hal lucu dan romansa pun ikut terbalut ketika cinta terhadap kota harus dibayar mahal dengan lautan api.