Jangan Hanya Bisa Buang Sampah Pada Tempatnya

Hujan turun deras nih. Berita banjir mulai banyak menghiasi halaman depan koran dan televisi. Wah wah wah, musibah emang ga pernah ada habisnya buat negeri ini. Kenapa ya?

Bicara tentang banjir, kira-kira apa yang menyebabkannya?

Semuanya pasti satu pendapat dengan saya, yaitu sampah yang dibuang sembarangan. Benarkah?

Ya, sedari kecil kita telah dicuci otak bahwa yang menyebabkan banjir adalah akibat buang sampah sembarangan. Dan selama puluhan tahun peringatan serta jargon berupa “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” selalu menghiasi kehidupan sekeliling kita serta menimpakan kesalahan itu pada mereka yang telah membuang sampah sembarangan. Lalu apakah sungai-sungai kita sudah terlihat bersih dan jernih, apakah orang-orang yang membuang sampah sembarangan kapok?

Pastinya belum.

Apakah masih tepat mengusung jargon buang sampah pada tempatnya?

Well, jargon ini sebenarnya berlaku untuk sepanjang masa. Orang mana sih yang adem melihat sampah berserakan di sekitarnya. Mungkin hanya mereka yang berprofesi sebagai pemulung dengan penuh keterpaksaan ngadem-ngadem aja dengan sampah segunung di sekelilingnya. Namun pada prakteknya, banyak orang merasa kesulitan untuk melakukannya. Banyak alasan yang dilontarkan dan dijadikan pembelaan ketika sampah tak lagi pada tempatnya. Dan pembelaan itu memang benar.

Di satu sisi kita disuruh untuk buang sampah pada tempatnya, tapi di sisi lain akses untuk melakukan itu tidak tersedia.

Oleh karena itu, daripada kita terus meratapi fasilitas membuang sampah yang belum tersedia dengan baik maka sebaiknya kita berusaha untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan.

Pola dan gaya hidup manusia saat ini telah meningkatkan jumlah sampah hingga empat kali lipat dari sekedar pola hidup makan tidur dan ee doang. Belum lagi jenis sampah yang dihasilkan bukan lagi jenis sampah yang mudah terurai secara alami.

Selama masih menghasilkan sampah, maka permasalahan lingkungan di sekitar kita bukan hanya banjir semata. Polusi udara, polusi tanah, polusi air bahkan yang saat ini sedang in yaitu pemanasan global mendapatkan sumbangan dari sampah.

Jadi….
JANGAN HANYA BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA ayo kita kurangi sampah dan selamatkan lingkungan yang tersisa.

Save the Empty Seat, Selamatkan Jok Kosong

Semua orang tahu klo semua kendaraan berbahan bakar minyak itu menghasilkan polusi. Dan semua -sebagian- orang juga tahu klo polusi udara itu menghasilkan emisi karbon yang pada akhirnya menyebabkan efek rumah kaca. Lalu kita harus bagaimana?
Kembali bersepeda! Saya yakin tidak semua orang bisa untuk cukup bijak melakukan hal tersebut. Apalagi untuk sekedar bike to work/school yang menurutnya mustahil karena jarak yang memisahkan antara rumah dan tempat kerja/sekolah terlampau jauh. Belum lagi dengan orang-orang yang dituntut untuk mobilitas yang sangat cepat dan tepat waktu (kurir dan delivery order).

Jadi pada akhirnya kita sebenarnya belum bisa menghentikan emisi karbon kendaraan selama kebutuhan mobilitas tepat waktu manusia belum terganti dengan yang benar-benar ramah lingkungan.
Jangan berkecil hati. Meskipun belum bisa menghentikan seutuhnya, kita masih bisa untuk menguranginya. Menguranginya itu lebih baik ketimbang terus menambahnya tanpa kita sadar kalau semua itu sudah di ambang batas.

Lalu apa saja yang bisa kita lakukan? Hm, the first thing you should do is kurangi penggunaan kendaraan bermotor. Tujuh hari dalam seminggu satu harinya hari bebas berkendara. Kenapa tidak. Ke warung ya jalan kaki dong. Inget kata Indy Barends berjalan 10.000 langkah setiap hari untuk mencegah osteoporosis. Bersepeda klo jaraknya sedikit jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki.

Yang kedua, isi angin pada ban. Tekanan ban kurang 0,5 bar dari tekanan normal akan meningkatkan penggunaan bahan bakar sebesar 5%. Intinya biar ga boros bbm.

Ketiga, ngangkot. Naik angkot, naik bus dan sarana transportasi publik lainnya. Kendaraan-kendaraan tersebut di desain dan dibuat untuk dapat menampung manusia dalam jumlah yang cukup banyak. Namun kenyataanya, kendaraan-kendaraan itu berseliweran membawa kursi kosong karena kita lebih bangga membawa kendaraan pribadi. Hari gini masih ngangkot? Mau taro dimana tuh muka!! Hahaha. Dengan mengangkot bukan hanya mengurangi beban emisi karbon, tapi juga mengurangi beban ekonomi si supir. Walau terkadang kita mengutuk dalam hati dan mengurut dada karena ulah si supir yang ugal-ugalan.
Klo ogah sama opsi ketiga, maka opsi keempat adalah nebeng. Ga salah nih? Kenapa nggak! Tentunya menebeng sama orang yang kita kenal.
Hampir sama dengan opsi yang ketiga, dengan menebeng setidaknya kita mencoba mengisi jok-jok kursi yang kosong.

Berapa banyak motor dan mobil yang hilir mudik hanya diisi oleh si pengendara saja. Bukankah itu sebuah pembuangan energi yang sia-sia.
Bila saja setiap orang harus menanggung karbon yang dihasilkannya, maka beban karbon sebuah mobil/motor harus ditanggung seorang diri. Dan beban karbon itu akan jauh lebih kecil apabila kursi-kursi kosong itu terisi semua.

Namun entah kenapa, memberikan tebengan itu sepertinya sulit sekali untuk dilakukan (khusus untuk motor). Pasti ada aja alasan untuk menolak, salah satunya adalah ga bawa/punya helm tambahan. Ujung-ujungnya takut dirazia polisi.

Klo saja tidak ada kebijakan mengenai helm standar, saya yakin budaya nebeng akan terus lestari hingga saat ini. Tapi mau gimana lagi, kebijakan tersebut bukan sekedar cuap-cuap sambal. Itu semua semata untuk mengurangi resiko dari kecelakaan.

Jika anda adalah seorang tukang nebeng sejati, maka setidaknya anda harus membeli helm pribadi. Dan jika anda seorang pengendara baik hati, maka menyediakan helm tambahan sangat disarankan sekali.
Nah, dari keempat opsi di atas tentunya bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tinggal kemauan dari kita untuk memulai sedikit demi sedikit, lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali.

Ayo kita nebeng untuk menyelamatkan jok-jok kosong.