Indonesia Urutan ke 19 dalam Top 20 Penyumbang Emisi Karbon

Dapat rangking 19. Hebat lah. Musti bangga ga ya?

Klo yang begini sih nggak patut untuk dibanggakan. Yang ada juga kita harus intropeksi-instropeksi-instrospeksi (halah mana sih yang bener) diri.

Dibandingkan negara-negara lainnya. Ibu pertiwi kita turut menyumbang emisi karbon bukan karena kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan oleh upaya deforestasi yang setiap menitnya mengundulkan hutan yang kita miliki.

Hal serupa dan senasib juga terjadi pada negara berkembang Brazil dimana kontribusi karbonnya lebih disebabkan oleh deforestasi hutan. Mungkin ini lah nasib para negara Tropis, jadi korban konsumerisme negara komsumtif.

Komitmen pun kemudian dibuat. Brazil dengan percaya dirinya mampu mengurangi laju deforestasinya sebesar 70% dalam sepuluh tahun ke depan. Sedangkan Indonesia, secara meyakinkan menyatakan mengurangi emisi karbon sebesar 26% hingga 2020 nanti. Dan berpotensi mengurangi sebanyak 60% pada 2030 melalui perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor kehutanan, pembangkit listrik, transportasi, dan pengelolaan lahan gambut.

Tapi, tentu saja itu semua akan terlaksana jika mendapatkan bantuan yang tepat dari dunia Barat. Tanpa bantuan dunia Barat, negara-negara berkembang ini tidak akan membuat perubahan pada dekade berikutnya. Dukungan diperlukan dalam bidang-bidang seperti transfer teknologi, bantuan keuangan dan transfer ketrampilan.

Ujung-ujungnya tergantung pada negara-negara yang merasa dirinya maju. Karena bumi hanya ada satu jadi musti dipikirkan bersama.

Sumber tulisan dan gambar di dapat dari sini

Makanan Enak dan Sehat bukan Berarti Kebarat-baratan

Masak masak masak yoo!!

Seneng banget liat Farah Queen memasak di tv. Selain sajian masakannya yang mengundang selera, tentunya ada sajian lainnya yang mengundang tiiiit -kena sensor nih-. Yah pokoknya mah saya suka meremas-remas! Sponsnya, hehehe.

Program-program tv tentang memasak mulai marak kembali. Klo jaman baheula kita cuman tau-nya mas Rudy dan ibu Rose brand (lupa namanya, yang suka bikin kue-kue basah itu loh), sekarang udah muncul koki-koki baru dari yang tampang biasa-biasa aja sampai yang berotot pun banyak hadir menghiasi tampilan televisi kita. Sebut saja mbak Farah (keukeuh), mas Bara, lalu si hensem Edwin Lau, lalu ada juga abah Wiliam Wongso. Itu baru sebagian loh.

Dari sekian banyaknya nama mereka, maka semakin banyak pula hidangan menu yang selalu mereka sajikan setiap minggunya. Pastinya menggiurkan bagi siapa saja yang melihatnya -bisa dilihat tapi ga bisa dicicip-. Apalagi eceu Farah yang selalu menampilkan menu-menu ala chef, dengan logat France (dibaca: proenk).

Dari kesemua chef-chef itu mereka hampir mempunyai kesamaan yaitu, menggunakan bahan-bahan atau bumbu masak yang terdengar asing untuk telinga orang Indonesia. Terutama mas Edwin.

Entah kenapa setiap kali saya menonton atraksi mas Edwin di metro tv ataupun CTChannel selalu saja dia menampilkan menu masakan dengan bahan-bahan yang ga lazim untuk ditemukan di pasar tradisional. Harus beli di supermarket. Sebutannya sih Healthy, tapi yang namanya Healthy bukan berarti ke barat-baratan kan?

Lalu bagaimana bahan atau bumbu itu bisa ada di sini. Tentunya diimpor dong. Betul diimpor dengan apa? Dengan kendaraan, pesawat, kapal, truk, dan lain-lain. Prosesnya mungkin sangat panjang sampai-sampai kita tidak menyadari ada ribuan karbon yang dilepaskan agar kita bisa mendapatkan satu botol minyak zaitun (contoh).

Minyak zaitun memang healthy buat tubuh kita, tapi proses untuk mendapatkannya ga healthy buat bumi kita yang lagi meradang.

Solusinya bagaimana?

Act Global, Shop Local.

Negara kita bukan negara yang miskin amat untuk sumber daya alamnya. Jadi ngapain musti pake bahan-bahan imporan. Emangnya ga ada apa menu masakan Indonesia yang menyehatkan? Klo ga sehat ya dibuat sehat dong! Misal rendang bebas kolesterol, karedok dengan anti-oksidan, kupat tahu omega 3, dan lain-lain.

Dengan berbelanja di pasar, setidaknya kita telah meng-cut emisi karbon yang dihasilkan oleh proses distribusi yang sangat panjang dari barang-barang impor tersebut. Jangan sampai deh produk-produk dalam negeri kita kalah saing dan berakhir menjadi sampah yang tidak terberdayakan. Kasihan para petani kita, capek menanam bukan untung yang didapat. Yuk ah kita Act Global, Shop Local!!

NB: Tulisan ini bukan untuk memprovokasi seseorang, sekedar mengingatkan klo produk nasional kita ini kalah pamor dengan barang luar dan imbasnya berpengaruh secara sosial ekonomi dan lingkungan.

Save the Empty Seat, Selamatkan Jok Kosong

Semua orang tahu klo semua kendaraan berbahan bakar minyak itu menghasilkan polusi. Dan semua -sebagian- orang juga tahu klo polusi udara itu menghasilkan emisi karbon yang pada akhirnya menyebabkan efek rumah kaca. Lalu kita harus bagaimana?
Kembali bersepeda! Saya yakin tidak semua orang bisa untuk cukup bijak melakukan hal tersebut. Apalagi untuk sekedar bike to work/school yang menurutnya mustahil karena jarak yang memisahkan antara rumah dan tempat kerja/sekolah terlampau jauh. Belum lagi dengan orang-orang yang dituntut untuk mobilitas yang sangat cepat dan tepat waktu (kurir dan delivery order).

Jadi pada akhirnya kita sebenarnya belum bisa menghentikan emisi karbon kendaraan selama kebutuhan mobilitas tepat waktu manusia belum terganti dengan yang benar-benar ramah lingkungan.
Jangan berkecil hati. Meskipun belum bisa menghentikan seutuhnya, kita masih bisa untuk menguranginya. Menguranginya itu lebih baik ketimbang terus menambahnya tanpa kita sadar kalau semua itu sudah di ambang batas.

Lalu apa saja yang bisa kita lakukan? Hm, the first thing you should do is kurangi penggunaan kendaraan bermotor. Tujuh hari dalam seminggu satu harinya hari bebas berkendara. Kenapa tidak. Ke warung ya jalan kaki dong. Inget kata Indy Barends berjalan 10.000 langkah setiap hari untuk mencegah osteoporosis. Bersepeda klo jaraknya sedikit jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki.

Yang kedua, isi angin pada ban. Tekanan ban kurang 0,5 bar dari tekanan normal akan meningkatkan penggunaan bahan bakar sebesar 5%. Intinya biar ga boros bbm.

Ketiga, ngangkot. Naik angkot, naik bus dan sarana transportasi publik lainnya. Kendaraan-kendaraan tersebut di desain dan dibuat untuk dapat menampung manusia dalam jumlah yang cukup banyak. Namun kenyataanya, kendaraan-kendaraan itu berseliweran membawa kursi kosong karena kita lebih bangga membawa kendaraan pribadi. Hari gini masih ngangkot? Mau taro dimana tuh muka!! Hahaha. Dengan mengangkot bukan hanya mengurangi beban emisi karbon, tapi juga mengurangi beban ekonomi si supir. Walau terkadang kita mengutuk dalam hati dan mengurut dada karena ulah si supir yang ugal-ugalan.
Klo ogah sama opsi ketiga, maka opsi keempat adalah nebeng. Ga salah nih? Kenapa nggak! Tentunya menebeng sama orang yang kita kenal.
Hampir sama dengan opsi yang ketiga, dengan menebeng setidaknya kita mencoba mengisi jok-jok kursi yang kosong.

Berapa banyak motor dan mobil yang hilir mudik hanya diisi oleh si pengendara saja. Bukankah itu sebuah pembuangan energi yang sia-sia.
Bila saja setiap orang harus menanggung karbon yang dihasilkannya, maka beban karbon sebuah mobil/motor harus ditanggung seorang diri. Dan beban karbon itu akan jauh lebih kecil apabila kursi-kursi kosong itu terisi semua.

Namun entah kenapa, memberikan tebengan itu sepertinya sulit sekali untuk dilakukan (khusus untuk motor). Pasti ada aja alasan untuk menolak, salah satunya adalah ga bawa/punya helm tambahan. Ujung-ujungnya takut dirazia polisi.

Klo saja tidak ada kebijakan mengenai helm standar, saya yakin budaya nebeng akan terus lestari hingga saat ini. Tapi mau gimana lagi, kebijakan tersebut bukan sekedar cuap-cuap sambal. Itu semua semata untuk mengurangi resiko dari kecelakaan.

Jika anda adalah seorang tukang nebeng sejati, maka setidaknya anda harus membeli helm pribadi. Dan jika anda seorang pengendara baik hati, maka menyediakan helm tambahan sangat disarankan sekali.
Nah, dari keempat opsi di atas tentunya bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tinggal kemauan dari kita untuk memulai sedikit demi sedikit, lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali.

Ayo kita nebeng untuk menyelamatkan jok-jok kosong.