SEPEDA JUGA BISA IKUTAN MACET

Wuih dah lama nih nggak posting tentang bersepeda… (najos! padahal baru minggu kemarin posting Almost Stolen).

Hehehe, maksudnya cerita tentang perjalanan bersepeda. Tanpa berpanjang lebar di kali tinggi sama dengan isi jadi kemaren Rabu teh ceritanya saya bersepeda seperti rabu-rabu biasanya untuk menghadiri Rabu Belajar Sahabat Kota.

Cuman berhubung cuaca yang selalu tidak bersahabat khususnya bagi pengendara yang tidak punya alat pelindung maka dengan sungguh terpaksa saya harus menambah peranti bersepeda untuk melindungi diri saya dari terpaan hujan angin dor dar gelap.

Dengan isi dompet yang terbatas saya pun memaksakan untuk membeli “jas hujan”. Kali ini jas hujan beneran, bukan jas hujan abal-abal yang saya pakai sebelumnya. Jas hujan berbahan dasar plastik yang bunyinya kresak kresek gampang sobek. Sebenarnya jas hujan plastik abal-abal itu masih layak dipakai meski beberapa bagian sobek karena terkait benda-benda yang runcing. Hanya saja gara-gara pindahan dan angkut-angkut barang, benda satu itu raib entah dimana oleh siapa.

Okeh saya akhirnya berhasil membeli jas hujan baru di Giant Progo. Harganya, lumayan buat nguras biaya hidup selama tiga hari. So sad so sad.

Beres beli JH (saya kasih dia nama JH {baca: Gi Eight}) saya pun meluncur ke DU 65 Pav.

Entah angin apa yang tiba-tiba berhembus. Jalanan kota Bandung tiba-tiba mendadak macet. Padahal hujan belum turun dan waktu belum menunjukkan jam pulang sekolah apalagi jam pulang pegawai PNS Gedung Sate.

Dan sialnya, macetnya mengimbas kepada saya si pengguna sepeda yang padahal mah bisa menggunakan akses trotoar.

Beuh, jangan harap bisa menggunakan trotoar! Tak ada trotoar yang layak untuk digowes di sekitar Jalan Cimandiri (belakang gedung sate). Jangankan sepeda, pejalan kaki pun sedikit kesulitan untuk menggunakan trotoar di sekitar jalan tersebut yang habis oleh pavingblok dengan isi tanaman yang nggak jelas tumbuhnya. Belum lagi saya terjebak tepat di tengah badan jalan di antara kerumunan kendaraan yang sesekali membuang gas kotornya dengan semena-mena.

Hosh!!! Emosi jiwa!!!

Tumben-tumbenan Bandung macet di hari Rabu! Biasanya juga malam minggu. Duh mana panas, gerah dan saya dikejar waktu.

Heu heu heu heu heu!!!

Saat ada kesempatan saya coba untuk menyeberang ke arah gedung sate. Dan memaksakan diri menggunakan akses trotoarnya yang tingginya 1,5 meter dari aspal. Sedikit lebih baiklah meskipun harus ngangkut-ngangkut sepeda.

Setelah berjibaku mengangkut sepeda, akhirnya saya tahu penyebab dari semua ini. Ada acara besar di depan Gedung Sate. Belakangan saya baru tahu klo acara ini namanya GASS (Gabungan Artis Sunda Sejabar).

Kemacetan tidak berhenti sampai Jalan Cimandiri saja. Ternyata  Jalan Diponegoro hingga DU juga macet.

Sial Mon-mon deh.

Mengejar waktu yang tak pernah berhenti berdetik. Sepeda terus ku kayuh sambil tetap waspada terhadap kendaraan-kendaraan yang bisa saja berhenti mendadak, seketika.

Pukul tiga lewat beberapa menit. Lumayan terlambat dari waktu yang bisa kujanjikan.Maaf teman, bukan maksudku mengingkari tapi keadaan berkata lain.

Cih, macet bukan hanya milik besi-besi kaku yang menebar panas! Tapi milik siapapun yang kena imbas dari dari tingkah polah si besi-besi beroda yang semakin menjejali ruang hidup manusia.

Mang Ade Naik Sepeda

Akhirnya saya bisa meracuni mang ade. Ya korban bersepeda yang kedua ini adalah Sohib temen tidur dan nangkring saya selama menjaga kantor KONUS.

Mang Ade yang asli orang Ciwidey ini setiap hari kerja yaitu senin sampai jumat punya pekerjaan tetap sebagai driver pak Made, senior aku. Setiap harinya beliau selalu mengantar anak-anak pak Made yang masih kecil-kecil ke sekolahnya dan juga tempat-tempat lainnya seperti tempat kursus dan mengaji. Tapi terkadang juga ia jadi supir pribadi pak Made bila ingin diantar ke luar kota.

Setiap malamnya, mang Ade dan saya numpang nebeng tidur di kantor KONUS yang kosong. Mungkin karena melihat keseharian saya yang selalu menggunakan sepeda kemana pun aku pergi. Mang Ade tertarik untuk mencoba bersepeda pada saat berangkat kerja dan sepulang kerja.

Sebenarnya cukup aneh juga. Mang Ade mau bersusah-susah menggunakan sepeda berangkat dari Supratman ke Bukit Jarian Ciumbuleuit, padahal dari pak Made nya sendiri dia diberi pinjam sepeda motor selama di Bandung.

Entah karena dia ingin mencoba hidup sehat atau tergoda oleh kenikmatan bersepeda, akhirnya dia memutuskan untuk memperbaiki sepeda kepunyaan pak Made yang tersimpan terbengkalai di gudang dan menggunakannya untuk berangkat pulang kerja.

Dan, pagi ini adalah hari kedua ia berangkat kerja dengan sepeda. Tidak seperti para sahabat bike to work yang berangkat dengan setelan bersepeda yang mumpuni. Mang Ade berangkat dengan sederhana.

Sepatu kulit, celana jeans, kemeja lengan panjang dan air minum. Tidak ada barang-barang lain yang ia bawa. Melihat penampilannya yang seperti itu lalu saya pun memberi saran. Pakai kaos, bawa tas, kemeja simpan di tas.

Saya memberi saran bukan karena sok tahu. Tapi mengingatkan dia bahwa jalur yang akan dia lalui saat berangkat hampir berupa tanjakan semua.

Dan bagaimanapun juga saya yakin ia bakal berkeringat banyak. Sedikit berdebat untuk meyakinkan ia membawa baju ganti. Ia beralasan bahwa nanti juga akan kering terkena angin.

Meskipun pada akhirnya ia mengalah dan menuruti saranku.

Maka berangkatlah ia dengan kantong kecil di punggung berisi baju ganti.

Baiklah, untuk mang Ade. Selamat bergabung, semoga bersepeda dapat menyehatkan dan turut membantu mengurangi polusi kota Bandung.

Bercinta di Malam Minggu Dengan Sepeda

Ayang-ayang ku teruslah berputar.

“Gung k p pri.”
Singkat padat dan jelas. Sms dari temanku si deri yang mengawali malam minggu dengan mengajakku untuk pergi menemui rumah dosen pembimbing.

Dan saya membalas
“Geus peting kieu der! Urang sieun mun sapedahan peting mah…”

Lalu si Deri membalas kembali
“Mun te hayang indit ngomong we. embung jd baturan urang dei! Indit siah mumpung dibaturan!”

Ultimatum yang mengerikan. Daripada lepas tali persahabatan lebih baik lepas tali kolor deh. Sesegera mungkin saya bersiap-siap dan mengeluarkan sepeda. Dalam 30 menit saya harus sudah sampai ke Cipadung (daerah Cibiru) dari Supratman. Suatu hal yang sebenarnya cukup meragukan bagi saya. Bersepeda di malam hari, malam minggu yang ramai, dan jalur padat kendaraan. Belum lagi penglihatanku yang sedikit buruk di malam hari.

Bukan waktunya mengeluh. Pokoknya saya harus bisa sampai Cipadung, bagaimana pun juga.

Sepanjang perjalanan Ahmad Yani, Cicaheum, Ujung Berung bel sepeda dan rem di kedua setang dalam posisi siaga. Tak jarang harus mengerem mendadak karena kendaraan yang padat di beberapa titik keramaian dan tidak mau mengalah memberikan jalan pada sepeda yang hendak menyalip angkot.

Almost hit, almost there!

30 menit lebih kebanyakan. Sampai juga di Cipadung. Peluh keringat membasahi baju hingga jaket sebagai ucapan selamat malam pada bapak dosen yang tak sungkan menerima kehadiran kami.

Pembicaraan kami dengan pak dosen tidak berlangsung lama. Hanya menyerahkan beberapa carik kertas proposal.

Dan sekarang adalah perjalanan pulang kembali ke pusat kota Bandung. Saya tidak mau melewati jalur yang sama seperti keberangkatan. That’s horrible path.

Dalam perjalanan di Soekarno-Hatta, Kang Toro yang menemani kami menawarkan bantuan berupa tumpangan untuk mengefisiensi tenaga. Akhirnya sepeda saya naikkan ke motor. Sepeda naik motor.

Untuk pertama kalinya si Yelli bisa naik motor. Di Metro Bandung kami berpisah. Dan saya melanjutkan perjalanan sendirian.

Waktu menunjukkan pukul 9.00, sebuah sms masuk diterima. Sebuah ajakan untuk hangout di ITB fair. Acara apa pula ini? Ya sudahlah, berhubung sedang dalam perjalanan sekalian saja mampir.

Jembatan Kiaracondong, Terusan Jakarta, Jalan Riau, kemudian Jalan Dago, dan akhirnya Ganesha. Semuanya memeriahkan malam minggu di awal pebruari dengan gempita. Memamerkan dan memajang mesin-mesin yang mereka punya di sepanjang jalan.

Tabuhan drum, petikan gitar dan alunan suara si vokalis meramaikan itb. Sorak sorai penonton menikmati setiap lagu yang dinyanyikan. Meski suara speaker memekakkan telinga pendengar disampingnya. Ah yang penting enjoy.

Tapi tidak untukku. Tak ada kesenangan yang bisa saya temukan di sini. Pulang lebih baik.

Malam minggu bercinta dengan sepeda. Menikmati setiap kayuhan dengan keringat bercucuran.

Akhirnya pulang dan tertidur pulas.

Bike to Jatinangor

Bike to Nangor City
Ada yang tahu Jatinangor? Ada yang tahu UNPAD? Biar lebih spesifik mungkin ada yang tahu IPDN atau nama bekennya STPDN.

Kalau yang ini pasti banyak yang tahu.

Berbicara mengenai Jatinangor, hm pasti mahasiswa-mahasiswi yang kuliah di UNPAD, UNWIM, IKOPIN dan STPDN pasti punya pendapat yang sama.

Panas

Gersang

Sumpek

Macet

Bus dan truk hilir mudik

Tukang ojeg yang semrawut

dan lain-lain

Hal-hal positifnya simpan saja lah dalam hati. Hehehe… Pasti ada kok.

Pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sana, memang kesan seperti itu lah yang saya tangkap. Beruntunglah untuk saat ini. Sudah semakin banyak perubahan yang bersolusi bagi permasalahan kenyamanan dan jalur transportasi.

Tapi beda ceritanya klo ke kampus Jatinangor dengan bersepeda. Apalagi klo bersepedanya berangkat dari pusat kota Bandung.

Tampak seperti hal bodoh memang bersepeda ke kampus Jatinangor. Tidak seperti mahasiwa lainnya semisal mahasiswa ITB ke kampus Ganesha, atau mahasiswa UPI ke kampus Ledeng meskipun lumayan menanjak. Atau mahasiswa UNPAD ekonomi hukum di kampus DU, lumayan lebih nyaman untuk bersepeda ke kampus karena umumnya berada di dalam kota.

Jarak antara kota Bandung ke Jatinangor pun ga kira-kira deketnya. Sekitar 21 kilometer. Tapi itu masih jarak yang normal untuk bersepeda.

Yang bikin nggak normal itu adalah, topografi jalanan yang ga banyak tanjakan dan ga banyak turunan alias naik turun, intensitas kendaraan yang melaju yaitu motor, angkot, mobil, bus dan truk semuanya ada di sini dan jumlahnya juga banyak, hati-hati kepepet. Makin banyak kendaraan otomatis makin banyak asapnya dong. Jalur yang ke arah timur, it’s mean berangkat pagi sama dengan menantang matahari dan menjemur upil. Dan yang terakhir kurangnya pepohonan penyejuk jalan.

Ya itulah sekelumit tidak enaknya bersepeda ke jatinangor.

Orang bilang bersepeda itu menyehatkan. Salah besar klo bersepedanya menuju ke Jatinangor. Bukan sehat yang didapat, justru penyakit yang diderita.

Dan saya adalah orang bodoh itu. Ya, saya bersepeda ke Jatinangor di pagi hari yang cerah dan sore hari yang hujan.

Waktu tempuh antara Bandung-Jatinangor hanya satu jam lebih sedikit. Cape, tentu saja. Apalagi di sisa perjalanan STPDN-UNPAD berupa tanjakan terus-menerus. Belum lagi di dalam kampusnya yang musti nanjak lagi.

Jadi, bike to campus Jatinangor sangat tidak disarankan untuk dilakukan setiap hari. Tapi bagi mereka yang nge-kost di sekitaran situ, bolehlah. Mungkin lebih bagus, karena untuk saat ini jalan-jalan di kampus sudah cukup baik. Meskipun ada beberapa tanjakan yang mungkin cukup menguras keringat. Mudah-mudahan saja UNPAD bisa seperti UI.

Di Balik Layar Bersepeda

Gowes-gowes bersepeda… Setelah baca postingannya Bang isro, saya jadi kepingin berbagi pengalaman saya sewaktu bersepeda. Tanpa dinanti lama-lama, baiklah lets get ride.

Enam bulan terakhir ini bersepeda sudah menjadi aktivitas sehari-hari saya selama tinggal di Bandung. Hampir setiap hari saya selalu menggunakan sepeda kemana saja, baik dekat maupun terkadang lumayan jauh. Klo ditanya jauhnya seperti apa, ya kira-kira sejauh Bandung-Padalarang, Bandung-Stadion Jalak Harupat, Bandung-Jatinangor dan yang lumayan cukup jauh dan melelahkan menurut saya adalah saat menantang batas diri saya dari Bandung ke Pangalengan hanya untuk mengirimkan beberapa surat balasan untuk adik-adik SD. Itu sangat-sangat melelahkan, tapi saya puas karena saya bisa juga sampai ke Pangalengan dengan selamat.

Lalu kenapa saya bersepeda? Alasan utama saya adalah karena saya nggak mau kalah sama Bapak saya dan kedua adik saya. Di keluarga saya, hanya saya sendiri waktu itu yang nggak bisa naik sepeda. Waktu itu adalah kelas 3 SMA. Saya pertegas sekali lagi saya baru belajar naik sepeda waktu kelas 3 SMA, dan itu pun saya belajar sendiri di sekolahan sambil minjem sepeda punya teman.

Setelah sedikit lumayan lancar, saya mulai mencoba menggunakan sepeda yang ada di rumah dan bersepeda di sekitaran kampung yang dekat-dekat rumah. Yah namanya juga baru lancar, jangankan menggowes sambil berdiri, lepas tangan satu aja saya masih nggak berani. Alhasil setelah selesai bersepeda biasanya kulit telapak tangan saya suka terkelupas dan merah seperti kepanasan karena mengenggam setang dengan sangat keras.

Pernah kejadian sewaktu saya coba-coba menggowes sambil lepas tangan kiri. Awalnya sih lancar-lancar aja, tapi pas ngelindes polisi tidur… entah karena kaget atau reflek, rem depan langsung dicengkeram kuat-kuat.

grep…

heug…

ah…

Ban belakang sedikit naik, dan dengan gagahnya anuku nabrak si setang.

Nggak berkutik sesaat.

Sepeda langsung dilepas dan jongkok sambil megang-megang anuku yang nyut-nyutan.

Duh buyung, malang nian nasib mu nak…

Meskipun pernah merasakan sakitnya bersepeda, itu semua nggak bikin saya kapok. Saya jadi makin rajin setelah tujuh tahun berlalu. Lalu apakah saya sudah benar-benar lancar. Saat ini sih bisa dibilang lumayan, walaupun terkadang kejadian kegagahan anuku pernah terulang kembali gara-gara hal yang serupa.

Ceritanya sih karena sok-sok belagu pengen belajar handsfree gitu deh. Yang saya tau waktu itu klo pengen handsfree harus dalam kecepatan yang lumayan cepat. Setelah sepeda digowes dengan penuh semangat dan kecepatan yang saya rasa cukup, perlahan-lahan kedua tangan langsung saya lepas bersamaan.

Belum sampai hitungan ke dua, sepeda sudah oleng ke kanan. Di tengah kepanikan, otakku langsung teriak..

rem… rem… rem…!!

ckiiiit…

dug…

heug…

ah.. ah.. ah…

Kena lagi…

Untungnya ga ada yang liat dan nggak ada yang ngeloncat (apaan tuh yang ngeloncat?).

——————————–||——————————–

Nah kira-kira, apa hal yang paling nggak enak saat bersepeda?

Jawabannya adalah kena serangan darah kotor di bagian yang paling sensitif untuk bersepeda. Klo nggak ngerti, baiklah akan saya terawang dengan lebar. Serangan darah kotor = bisul, sedangkan area sensitif untuk bersepeda = pantat. Jadi artinya adalah, serangan bisul pada area pantat. Dan setelah saya googling, ternyata kasus bisul di pantat bukanlah hal yang langka. Malah banyak.

Meskipun titik jatuh bisul tidak tepat mengenai sadel, namun kegelisahan dan gundah gulananya bikin pantat nggak bisa duduk diem. Geliat-geliat kayak cacing kepanasan lah. Kadang menclok di kiri, lalu menclok ke kanan, goyang ke depan, goyang ke belakang. Semua posisi di coba sampe nemu tempat yang paling PW. Mungkin klo ada kendaraan yang ngeliatin dari belakang, dia pasti berpikir,

“Yang sepedahan di depan kagak bisa diem apa, goal geol gutak giteuk mulu!”

Bagi yang belum pernah merasakan, jagalah aset berhargamu itu dengan baik.

——————————–||——————————–

Kejadian yang paling memalukan -i hate this part- saya pernah ngalamin juga. Ceritanya pas malam-malam saya mau belanja ke Alfamart. Dengan setelan celana kolor dan kaos oblong saya bersepeda sambil santai ke Alfamart yang nggak begitu jauh dari kostan.

Setelah beres belanja-belanja saya lalu kembali menuju kost-an. Karena jalanan lumayan tidak terlalu ramai, di tengah jalan saya mulai sok-sokan untuk menikmati angin malam sambil berdiri di atas pedal sepeda trus duduk-duduk di bagian rangkanya biar kelihatan ceper. Nah pas mau berdiri dari rangka, tiba-tiba celana kolor yang saya kenakan melorot karena nyangkut sama sadel sepeda.

“eng ing eng”

Kolor warna biru favorit saya dengan sangat jelas terpampang menghiasi pemandangan pengendara mobil yang ada di belakang.

Yang bikin malu banget yaitu waktu si mobil menyalip saya sambil membunyikan klakson dua kali dan terdengar tawa cekikikan di dalamnya

Sial!!!!

Untungnya malam-malam, jadi dia nggak bisa lihat dengan jelas siapa kah pemilik kolor biru bersepeda itu. Huff..

Yup, itulah sebagian kisah dan pengalaman pahit saya selama bersepeda. Mudah-mudahan cukup saya seorang saja yang mengalami hal tersebut. Lain kali klo ada yang lihat kolor biru saya musti bayar! Hahahaha