My School Backyard

2 minggu kebelakang ini saya sempet jalan-jalan ke beberapa SMA yang ada di Bandung. Sekedar menemani teman yang menjadi fasilitator ekskul KKS (Klub Konservasi Sekolah) yang diinisiasikan oleh KONUS (Konservasi Alam Nusantara). Dan mengenang memori gejolak muda putih abu yang sudah lama banget nggak pernah merasakan.

Tiap sekolah memang berbeda, baik dari siswa, guru maupun bangunan sekolahnya. Kesamaannya ialah ruitinitas belajar dan belajar. Memang tujuan kita sekolah untuk itu. Tapi proses pembelajaran tidak melulu harus eksak kan… banyak hal yang bisa kita temukan dan kita pelajari di sekolah. Salah satunya adalah pendidikan lingkungan.

Pentingkah pendidikan lingkungan? Semua pasti menjawab penting. Menghadapi segala permasalahan yang terjadi pada lingkungan saat ini, pendidikan adalah satu alternatif solusi yang efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup.

konus)
kegiatan penamaan jenis tumbuhan (foto: konus)

Untuk mengenal lingkungan hidup kita tidak perlu harus pergi ke hutan, pantai atau tempat-tempat lainnya yang hijau. Lingkungan sekolah pun ternyata bisa menjadi tempat yang menarik. Kebanyakan sekolah yang didirikan dari entah tahun kapan atau jaman baheula memiliki penataan ruang hijau yang masih bertahan hingga sekarang. Penataan kawasan sekolah yang berlangsung lama bisa menjadi habitat bagi beberapa satwa. Burung, tupai, serangga menggantungkan hidupnya pada beberapa pohon yang ada di sekolah.

Lingkungan sekolah yang hijau bisa memberikan kenyamanan bagi para penghuni yang ada di sana. Suasana sekolah yang rimbun, asri, sejuk akan membantu proses pembelajaran. Belajar di tempat dengan kadar oksigen tinggi dapat merangsang sel-sel otak untuk menerima materi lebih banyak dibandingkan belajar di tempat yang sedikit sekali kadar oksigen. Malah bisa pingsan klo kita kekurangan oksigen dan bisa bikin cepet lemes. Lingkungan yang alami akan memberikan perasaan damai dan mencegah stress.

Sekolah sebagai tempat belajar, seharusnya bisa juga menjadi bagian kawasan pelestarian. Bayangkan bila semua sekolah yang ada memiliki penataan kawasan yang hijau. Berapa banyak polutan yang bisa difiltrasi. Berapa banyak burung-burung menetap dan berkembang biak. Seberapa sering suara tonggeret akan terdengar mengisi sore hari ketika senja turun semburat keemasan membakar langit. Dan kupu-kupu mengisi keindahan sekuntum bunga yang mekar saat dihinggapi olehnya. Semua itu bisa menjadi suatu nilai yang berharga dan tak tergantikan.

Lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan ruang atau tuntutan pertambahan jumlah penduduk sehingga memaksa membangun kelas baru? Ruang hijau tidak selalu harus diisi dengan pepohonan tinggi menjulang. Tanaman perdu ataupun tanaman hias bisa kita sisipkan pada sudut-sudut ruangan. Tanaman hias pun tidak perlu harus tanaman yang memiliki nilai mahal dan mewah (mis anggrek, anthurium. Jangan samakan keindahan dengan harga). Sebaiknya tanaman yang memiliki fungsi ekologis dan tentunya estetis. Untuk satwa-satwanya, bisa dengan kotak sarang buatan yang disimpan di tempat-tempat yang sering dihinggapi, selain itu pula kita bisa membuat tempat makan hewan (animal feeder) dengan bentuk dan jenis makanan yang disesuaikan dengan hewannya.

Ruang hijau sekolah perlu juga didukung dengan pengelolaan sampah terpadu. Tidak cukup hanya dengan perilaku membuang sampah pada tempatnya. Perlu juga membiasakan untuk memilah jenis sampah. Pengelolaan yang baik dapat mereduksi jumlah sampah yang dihasilkan karena dapat dimanfaatkan kembali. Khususnya sampah organik yang bisa kita olah menjadi pupuk kompos dan nantinya kembali dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman yang ada. Sampah dedaunan pun tidak harus disapu bersih, cukup dirapihkan dan ditimbun tanah sehingga daur hidupnya bisa menjadi unsur hara bagi tanaman. Jadilah konsumen hijau, agar tidak lagi memproduksi sampah plastik.

Apalagi yang bisa kita lakukan? Petakan seluruh kawasan sekolah. Baik ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, toilet, lapangan olahraga, lokasi tempat sampah, lokasi penyebaran pohon, lokasi kotak sarang, lokasi animal feeder, tempat-tempat favorit dan masih banyak lagi hal lainnya yang bisa dipetakan. Buat peta semenarik mungkin sehingga orang-orang yang melihatnya kagum.

Begitu besarkah potensi lingkungan sekolah. Cobalah untuk menikmatinya. Cobalah untuk mengamati kehidupan lain yang berada di sekolah. Adakah hal-hal yang menarik. Ataukah menjadi kawasan yang eksotik karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dibandingkan tempat-tempat lain. Saatnya mengenali potensi sekolah sebagai bagian dari lingkungan.

A027

hujan asam

Beberapa hari yang lalu saya membaca koran di salah satu surat kabar di Jawa Barat. Sebuah tulisan yang mengatakan bahwa salah satu jalan di Bandung yaitu jalan Martadinata paling “Asam” (Pikiran Rakyat, 23 Oktober 2008). Asam yang dimaksud bukan karena banyak pohon asam yang ditanam, melainkan karena kadar asam dalam air hujan yang mengguyur kota Bandung. Pernyataan tersebut diungkapkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) 2004. Sedangkan peristiwa hujan asam di Kota Bandung terjadi sekitar tahun 1999-2000.

Apa itu hujan asam?

Istilah hujan asam pertama kali digunakan Robert Angus Smith pada tahun 1972. Ia menguraikan tentang keadaan di Manchester, sebuah kawasan industri di bagian utara Inggris. Hujan asam ini pada dasarnya merupakan bagian dari peristiwa terjadinya deposisi asam.

Deposisi asam terdiri dari dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering ialah peristiwa kerkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.

Sedangkan deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5,6. Apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi serta bercampur di atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari pH 5,6 disebut dengan hujan asam.

Pada dasarnya kejadian Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari kegiatan manusia, misalnya akibat pembakaran (Bahan Bakar Fosil) BBF, peleburan logam dan pembangkit listrik. Minyak bumi mengandung belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992).

Lalu apa akibat dari Hujan Asam khususnya hewan dan tumbuhan?

Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan menyapu kandungan tersebut sebelum diserap pohon untuk tumbuh. Kemudian, akan melepaskan zat kimia beracun seperti aluminium, yang menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, terserang penyakit, kekeringan dan mati. Tidak hanya pepohonan (tumbuhan), hewan pun memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Jenis-jenis hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Hewan lain pun akan terancam pula apabila kondisi hujan asam yang terus menerus mengakibatkan kematian tumbuhan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga ketergantungan hewan terhadap sumber makanan semakin sedikit.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah Hujan Asam?

Ada cara yang mudah dan murah untuk mencegah terjadinya hujan asam. Yaitu dengan melakukan penghematan energi. Penghematan energi mempunyai keuntungan dalam mengurangi CO2 selain mengurangi emisi lainnya. Namun, tentunya bersifat fleksibel, sehingga terdapat pilihan yang luas yang bisa dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.

Untuk lebih lengkapnya ada beberapa tips hemat energi yang bisa kita lakukan klik disini

A027

Leuweung Karamat, Kampung Kuta

Agustus 2006 lalu saya dan beberapa rekan diajak oleh dosen untuk melakukan ekspedisi di salah satu kampung adat di Jawa Barat. Lumayan nih buat ngisi waktu liburan kuliah yang panjang banget. Lagian kapan lagi coba bisa uulinan gratis.

Kampung Kuta, itu adalah nama kampung adat tempat saya dan rekan-rekan melakukan ekspedisi. Sebelumnya saya belum pernah berkunjung ke kampung adat-kampung adat yang ada di Jabar seperti Kampung Naga dan Baduy (sebelum jadi Banten). Mendengar nama kampungnya saja saya baru tahu. Dikirain ada di Bali.

Kampung Adat Kuta secara adminitratif berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan Tambaksari, Desa Karangpaningal. Lokasi Kampung Kuta dekat sekali dengan perbatasan provinsi yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah berupa sungai besar Cijulang. Seingat saya waktu perjalanan ke sana melewati Panjalu dan cukup membingungkan.

Ketika sampai disana, kami langsung disambut oleh kemeriahan warga dan nyanyian tradisional. Sambutan warga cukup berlebihan bagi kami, padahal mereka tidak bermaksud menyambut kami semeriah itu. Kebetulan saja seluruh warga sedang sibuk berlatih mempersiapkan kemeriahan 17 Agustus.

Sambutan yang sebenarnya diberikan oleh Ketua Adat, Ketua Dusun dan Kuncen yang menerima dengan baik kedatangan kami. Setelah itu kami menjelaskan maksud dan tujuan kami datang yaitu untuk meneliti kekayaan hayati yang terdapat di Leuweng Karamat.

Beberapa Kampung Adat memiliki Leuweung Karamat yang menurut mereka harus dijaga. Terkadang Leuweung-Leuweung tersebut dilarang untuk dimasuki dan pamali bagi yang melanggar. Ada ketentuan/ tata cara khusus yang harus dilakukan bila ingin memasuki Leuweung.

Karena ekspedisi yang kami lakukan cukup lumayan lama (seminggu), di dalam kawasan Kuncen melakukan ritual penyucian terhadap semua perlengkapan yang kami gunakan dan mohon ijin masuk Leuweung. Sambil membakar kemenyan, pak Kuncen membacakan doa-doa. Setelah itu, kami semua disuruh untuk mengambil air wudhu di sumber mata air rawa yang terletak di tengah leuweung. Untuk memasuki Leuweung pun kami harus bertelanjang kaki. Setelah ritual beres kami diperbolehkan untuk melakukan aktivitas yang hendak kami lakukan.

Tim ekspedisi terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu hewan, tumbuhan dan pemetaan. Kelompok hewan mengkaji tentang primata, burung, serangga dan reptil. Kelompok tumbuhan mengkaji jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di Leuweung serta vegetasinya. Kelompok pemetaan melakukan pemetaan dan penghitungan luas area Leuweung.

Selama dalam kawasan ada beberapa aturan yang harus kami patuhi, seperti tidak boleh meludah, buang air besar dan kecil, berteriak, berbicara kotor, merusak tumbuhan dan menggunakan alas kaki. Aturan-aturan tersebut tidak hanya berlaku kepada kami saja. Tapi juga kepada setiap orang yang hendak memasuki Leuweung Karamat.

Ternyata, aturan-aturan tersebut memberikan hasil yang baik. Karena sudah diterapkan sejak dari dulu, Leuweung Karamat masih terjaga kelestariannya. Pohon-pohon besar dengan keliling batang sekitar 4 orang. Jenis-jenis tumbuhan yang sudah jarang ditemukan di tempat lain. Burung-burung yang masih beraneka ragam. Serta monyet dan lutung yang asyik bercengkerama di atas pohon. Merupakan bukti bahwa Leuweung Karamat masih tetap lestari meskipun daerah-daerah si sekitar Leuweung Karamat sudah banyak berubah menjadi lahan pertanian. Maka tak heran bila satwa-satwa yang tadinya berada di hutan-hutan seberang, pindah dan bermukim di Leuweung Karamat.

Perkembangan arus informasi sudah masuk ke wilayah Kampung Kuta. Tapi itu semua tidak membuat masyarakat berubah pola pikirnya untuk tidak peduli lagi pada alamnya. Menurut mereka keberadaan Leuweung Karamat sangatlah penting. Dan mereka percaya bila Leuweung tersebut rusak maka akan datang bala bagi masyarakat sekitar. Semoga apa yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta bisa menjadi contoh untuk kita semua dalam menjaga alam dan lingkungan. (A027)

ke bonbin Yuk..

foto from flickr

Berakhir pekan bersama keluarga enaknya mengisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Bila anda mempunyai putra-putri yang masih kecil, tidak ada salahnya mengajak mereka berkunjung ke kebun binatang. Sekedar melihat binatang-binatang atau menghabiskan akhir pekan.

Bagi anak-anak, berkunjung ke kebun binatang adalah sesuatu yang menarik. Melihat tingkah polah satwa, atau sekedar melihat jenis-jenis satwa memberikan suatu pengalaman yang baru. Kebun binatang didirikan bukan hanya sebagai tempat rekreasi semata. Ada nilai-nilai pendidikan konservasi yang bisa disampaikan yaitu tentang keanekaragaman hayati yang negara kita miliki.

Lanjutkan membaca “ke bonbin Yuk..”

Penyu Hijau dari Sindangkerta

Bosan menikmati pantai yang itu-itu saja? Atau bosan dengan suasana pantai yang isinya hanya hamparan pasir, debur ombak, pohon kelapa, batu karang, semilir angin yang berhembus, dan matahari terbit hingga tenggelam! Namanya juga pantai, klo nggak gitu bukan pantai dong namanya. Tapi nggak ada salahnya mencoba berkunjung ke pantai selatan, tepatnya Pantai Sindangkerta yang berada di Desa Sindangkerta, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya.

Apa keistimewaan dari pantai ini. Selain suasana pantai yang itu-itu aja, di sekitar kawasan wisata pantai Sindangkerta terdapat Kawasan Konservasi yang diperuntukkan bagi penyu. Bagi yang ingin melihat penyu secara langsung, disinilah tempatnya.

Ada tiga jenis penyu yang berkembang biak dengan baik di Pantai Sindangkerta, yaitu Penyu Belimbing (Dhermochelys coriacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Di antara ketiga penyu tersebut, Penyu Hijau lah yang paling terkenal rawan penjarahan dan eksploitasi.

Kawasan Konservasi ini dibatasi oleh pagar sepanjang 3 kilometer di sekitar pantai Sindangkerta yang merupakan lokasi bertelur penyu. Upaya perlindungan diperlukan karena maraknya perburuan dan perdagangan telur penyu. Padahal, ketiga penyu tersebut masuk ke dalam daftar Appendiks I CITES sebagai hewan yang tidak diperkenankan diperjualbelikan dan dilindungi menurut UU No. 7 Tahun 1999. Untuk melihat penyu-penyu tersebut, kita bisa mampir ke penangkarannya yang terletak di Tegal Sereh. Sebuah pondok kecil dimana di dalamnya terdapat kolam-kolam penampungan untuk Tukik (anak penyu) dan beberapa penyu yang tidak memungkinkan kembali ke laut.

Penyu Hijau, memiliki ciri khas warna kehijauan pada tubuh, lemak dan dagingnya. Ukuran penyu hijau setelah dewasa dapat mencapai 250 cm, namun ukuran yang lazim berkisar 80 hingga 150 cm. Beratnya dapat mencapai 130 kilogram. Ciri khas lainnya adalah terdapatnya kuku pada kaki renangnya.

Lanjutkan membaca “Penyu Hijau dari Sindangkerta”