Nangkring di Majalah Respect | Kumkum.DagDigDug.Com

Picture 028Untuk pertama kalinya. Siapa sangka klo blog yang saya kelola seala kadarnya ini akhirnya bisa nangkring juga di sebuah majalah.

Dan tak tanggung-tanggung lagi di majalah Respect. Sebuah majalah gratisan tapi sarat dengan informasi yang bermanfaat sebagai panduan gaya hidup ramah sosial dan lingkungan. Di Edisi yang ke 04 bulan April-Mei 2010 pada halaman 41, di situ nama saya dan blog ini nangkring.

Di halaman tersebut nama saya terpampang pada sebuah kotak pada bagian paling bawah sekali

Keikutsertaan saya pada lomba Blog yang diadakan oleh Kumkum sebenarnya tidak masuk sama sekali sebagai kandidat juara. Dari sekian banyak tulisan yang saya ikut sertakan, ga satupun yang jadi perhitungan. Boro-boro jadi terfavorit (menyedihkan).

sengaja kecil

Eh tak dinyana, ternyata saya dapat sebuah email yang menyatakan bahwa saya turut mendampingi ketiga pemenang utama di atas serta mendapatkan pula hadiah yang kurang lebih sama dengan yang lainnya. Tulisan saya memang tidak sebagus ketiga kontestan pemenang ataupun terfavorit (saya akui tulisan mereka bagus, memuji Mbak Dan dan Mang Hadisome –sebelum ikutan lomba saya sudah kenal mereka berdua-), tapi karena tulisan saya yang paling banyak (23 tulisan gitu loh) mungkin panitianya kasihan. Hahahaha…

Terima kasih buat Kumkum atas hadiahnya.

Terima kasih Mbak Dan atas numpang ngewarnet di rumahnya.

dan Terima kasih Mang Hadisome atas gosip tentang Anilwati, hahahaha..

Tertarik untuk membaca majalahnya, klik saja link berikut http://issuu.com/respectmagz/docs/respect__4

Paket Hadiah Bungkus Koran

Kiriman paket hadiah dari kumkum dagdigdug com sudah tiba.

Kebetulan banget. Begitu saya memutuskan niat untuk pulang sejenak ke bandung karena harus mengirim surat undangan seminar buat para dosen, eh tu paket nongol juga pada akhirnya.

Jika boleh saya katakan ini adalah paket hadiah yang unik. Tidak dibungkus dengan kertas samson warna coklat. Tapi dibungkus dengan kertas koran bekas berlapis-lapis. Selain itu pula, isi hadiahnya tidak dibungkus lagi dengan plastik. Hanya kaos dari si panda yang gencar mematikan lampu saja yg dibungkus lagi dengan plastik.

Sedikit bercerita, jadi hadiah yang saya terima itu isinya antara lain.
Tas lipat dari bagoes
Tas kain dari si panda
Pin 2 buah dari si panda
Lilin rendah emisi dari si panda
Kaos bertuliskan 60 dari si panda
Kaos bertuliskan naik apa hari ini dari kumkum
Satu gulung bioplastik entah dari siapa dari freetodecide.org

Paket hadiah yang mengajak saya untuk mengurangi sampah sebisa mungkin.

Saya suka dengan konsep less new paper for your package pada hadiah yang saya terima. Meskipun secara estetika tampak kurang menarik, tapi tak apalah. Saya bukan orang yang gila hormat atau pemuja keindahan duniawi.

Setidaknya konsep bungkus paket dari kertas koran bisa menjadi alternatif untuk meminimalisir penggunaan kertas baru. Jika estetika yang menjadi kendala, maka kreatifitas perlu dikembangkan.

Terima kasih kepada kumkum atas kiriman hadiahnya.

Pabrik itu Namanya Perguruan Tinggi

Entah berapa banyak tulisan tentang Perguruan Tinggi Idaman yang sudah saya baca. Dan semuanya rata-rata mengungkapkan sebuah harapan besar yaitu “selesai kuliah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya”.

Saya tidak hendak mengkritisi tentang harapan tersebut. Malah dengan membaca harapan-harapan tersebut justru malah mengiringi saya untuk “saya harus dapat pekerjaan setelah lulus nanti”. Otak saya tercuci dengan kata-kata mendapatkan pekerjaan.

Harus kah seperti itu?

Pembicaraan tentang mendapatkan pekerjaan menjadi semakin serius apalagi angka pengangguran saat ini yang cukup tinggi. Jangankan yang lulusan SMA/SMK yang lulusan Sarjana saja cukup banyak kok yang nganggur. Jadi kesalahan ini sebenarnya bukan karena hanya kualitas SDM saja, tapi ketersediaan lapangan kerja.

Jadi kualitas SDM hanya menempatkan si manusia pada posisi persaingan antar individu.

Pembicaraan lalu berlanjut pada apa yang dikatakan teman saya Yogi tentang sebuah ke khawatiran akan mahasiswa saat ini.

Kampusku menjadi pabrik.

Begitu katanya. Kampus tak ubahnya kini layaknya sebuah pabrik. Tempat menciptakan produk yang siap dijual ke pasaran. Bukan lagi menciptakan pribadi yang mampu mengaplikasikan ilmu yang didapat, melalui teori,  buku, ataupun sistem belajar dikelas.

Sikap berani, kritis menyikapi permasalahan sosial, berani menentang siapa yang menjadi musuh rakyat dan mencari jalan keluar telah mati suri. Justru keberadaannya kini malah menciptakan masalah.

Saya geram membaca tulisannya, sekaligus saya malu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa saya adalah mahasiswa mulia yang tidak setuju dengan pendapatnya.

Kritis bukan anarkis.

Mei 2010. Tanggal 1 dan 2. Siapa yang tak kenal May Day, siapa yang tak ingat Hari Pendidikan Nasional. Ribuah buruh berteriak menyuarakan aspirasinya di Hari Buruh, dan kaum terpelajar mahasiswa tertidur nyenyak menikmati minggu.

Nasib para lulusan mahasiswa mungkin tidak akan setragis para buruh (Mungkin). Tapi, seharusnya para lulusan Perguruan Tinggi mampu membuat solusi yang berarti bagi para Buruh.

Dan pada akhirnya semua berteriak. “berikan kami Lapangan Pekerjaan”.

Ah, saya sedih. Jika menuruti apa yang teman saya Yogi tulis. Maka saya kurang lebih sama dengan produk-produk yang Pabrik buat melalui para Buruhnya. Saya hanyalah produk, produk pendidikan.

Lalu harus bagaimana dong?

Point utama tulisan ini adalah Pekerjaan. Jadi kenapa tidak jika para Perguruan Tinggi yang ingin dikatakan Perguruan Tinggi Idaman, Perguruan Tinggi Favorit, Perguruan Tinggi Terbaik membuat sebuah program tentang Kewirausahaan.

Program Kewirausahaan bukan hanya hegemoni mereka yang kuliah di Fakultas Ekonomi. Setiap mahasiswa harusnya punya kesempatan untuk mengembangkan ide-ide kewirausahaannya. Setidaknya dari program tersebut setiap mahasiswa mempunyai bayangan tentang dunia kerja itu seperti apa. Dan nantinya lebih siap untuk menghadapi.

Malah lebih bagus lagi jika program Kewirausahaan tersebut dapat membantu masyarakat sekitar. Istilah kerennya Social Entrepreunership.

Tidak mengikuti arus tapi menciptakan arus.

Mudah-mudahan saja para lulusan Perguruan Tinggi tidak harus selalu menggantungkan Ijazahnya pada Lapangan Pekerjaan yang semakin sedikit dan persaingan kualitas SDM yang semakin sengit. Perguruan Tinggi Terbaik memberikan peluang bagi lulusannya untuk berkarya.

Tulisan ini saya ikut tampilkan untuk ramaikan dalam Lomba Blog Universitas Islam Indonesia.

Perguruan Tinggi Juga Harus Turut Berkontribusi Terhadap Lingkungan

Saya pikir, hampir kebanyakan Perguruan Tinggi Negeri yang ada memiliki kualitas yang sama. Meskipun beberapa diantaranya memiliki kredibilitas yang sudah cukup terkenal dan prestise di masyarakat juga tinggi.

Tapi, bicara perguruan tinggi maka kita bicara tentang suatu kawasan luas yang banyak sekali menghamburkan energi dan melepaskan materi.

Jika anda cukup jeli coba deh bayangkan,

Berapa besar konsumsi listrik yang digunakan oleh sebuah gedung-gedung kampus?

Berapa Kg sampah yang dihasilkan setiap harinya?

Berapa banyak polutan yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan pribadi?

Berapa liter air yang terbuang sia-sia?

Seharusnya semua itu bisa dihitung dan dikalkulasikan sebagai sebuah beban ekologis Perguruan Tinggi terhadap lingkungannya. Dan sebuah Perguruan Tinggi yang baik tentunya bertanggungjawab terhadap kondisi lingkungan sosial di sekitarnya.

Isu lingkungan menjadi topik utama dalam menciptakan sebuah Pembangunan yang Berkelanjutan atau biasa kita kenal dengan istilah Sustainable Development. Untuk menciptakan sebuah kampus yang Berkelanjutan maka perlu didukung oleh sistem-sistem yang ada di dalamnya. Baik itu mahasiswa, dosen serta pegawai-pegawai yang terlibat didalamnya.

Dari situ lalu muncul lah sebuah istilah-istilah baru dalam dunia perkampusan yang berkaitan dengan isu hijau seperti Ecocampus atau Green Campus yang intinya adalah sebuah Kampus yang berwawasan lingkungan.

Kampus Hijau bukan semata kampus yang penuh dengan pepohonan atau tempat sampah yang selalu ada di setiap sudut kampus. Tapi kampus yang dapat meningkatkan kualitas hidup secara keberlanjutan dari berbagai aspek yang ada.

Dari sebuah sumber di sini, untuk mendapat sebuah pengakuan resmi sebagai kampus hijau setidaknya memenuhi beberapa kriteria di antaranya adalah:

1. Studi Lingkungan

Setiap kampus akan memperkenankan setiap siswanya untuk mengambil satu matakuliah mengenai lingkungan.

2. Kontribusi kepada Masyarakat

Setiap kampus akan memilih dan mengimplementasikan proyek lingkungan masyarakat, yang akan dilakukan oleh pemerintah, para siswa dan masyarakat. Proyek harus mengarah pada perubahan konseptual perilaku dan norma-norma dalam masyarakat dalam hal orientasi lingkungan.

3. Penggunaan Sumber Daya yang Rasional

Setiap kampus akan memilih dan melaksanakan salah satu aspek lingkungan: sebuah program “pengurangan” seperti pengurangan penggunaan listrik, penggunaan air, menggunakan mobil pribadi, penggunaan kertas atau program “peningkatan” seperti meningkatkan penggunaan botol kaca, menggumpulkan baterai dan air untuk didaur ulang.

Maaf klo terjemahannya sedikit membingungkan. Tapi yang jelas ada efek perubahan positif lah. Misal,

Efisiensi energi. Gedung-gedung perkuliahan menggunakan konsep green building yang mana memanfaatkan sumber energi yang selalu ada seperti panas matahari sebagai energi alternatif. Atau setidaknya konsep bangunan tersebut memberikan ruang yang cukup bagi sinar matahari agar senantiasa dapat memberikan pencahayaan yang baik di dalam ruangan. Jadi menghemat penggunaan energi listrik.

Menabung Air. Meskipun luas lautan lebih banyak daripada daratan, justru fakta air mengatakan bahwa bumi ini sedang krisis air. Krisis air bersih. Solusinya tentu saja dengan pembuatan biopori (yang sedang in saat ini) atau membuat sumur resapan di sekitar kampus. Jika perlu kenapa tidak membuat danau buatan. Lumayan buat tempat nongkrong mahasiswa.

Malah lebih bagus lagi jika air sisa buangan gedung diolah kembali, meskipun digunakan untuk menyiram jamban. Malah saya pernah dengar ada satu pesantren yang hendak menerapkan daur ulang air sisa wudu untuk digunakan kembali. Entah sebagai apa, tapi yang jelas air tersebut diambil, digunakan, didaurulang, digunakan, didaurulang, digunakan sampe pegel saya nulisnya.

Selamat Tinggal Polusi. Saya salut sama UI yang sudah menyediakan sepeda beserta jalur sepeda di dalam kampus. Harusnya yang seperti ini bisa dicontoh dan diaplikasikan oleh perguruan tinggi perguruan tinggi lainnya. Hanya saja, masih cukup sulit karena negeri kita ini rasa memilikinya masih cukup tinggi, hehehe.

Oia, saya pernah baca postingan dari seorang rekan yang ikutan kontes ini juga. Dan ada satu idenya yang benar-benar luar biasa. Saya lupa lagi blognya, tapi dia menuliskan tentang kendaraan pribadi di parkir di satu tempat khusus. Mahasiswa, dosen, pegawai dan lain-lain hanya diperbolehkan menggunakan kendaraan umum yang disediakan oleh pihak kampus.

Ini ide yang luar biasa.

Ah cukupkan dahulu saja pendapat saya tentang sebuah Perguruan Tinggi Idaman, Perguruan Tinggi Terbaik, Perguruan Tinggi Favorit Indonesia.

Selain menghasilkan para lulusan yang berkualitas, tentunya si kampus itu tersendiri juga harus bisa meningkatkan kualitas hidup yang ada disekelilingnya (not antroposentris).

Pilihan adalah hak individu. Jadi pilihlah dengan bijak Perguruan Tinggi yang memihak pada upaya perbaikan kondisi Bumi. Masa depan tidak untuk dinikmati saat ini saja, tapi seterusnya hingga gelar yang dicita-citakan telah diraih.

Sekian.

Tulisan di atas saya ikut sertakan dalam Lomba Blog UII (Universitas Islam Indonesia). Semoga jadi masukkan yang bermanfaat.

Senyuman Yang Menenangkan dari Akademik

Bicara tentang Perguruan Tinggi Idaman. Wah pastinya banyak sekali kriteria yang melandasi sebuah Perguruan Tinggi menjadi Perguruan Tinggi Idaman yang tentunya diminati oleh para calon mahasiswa.

Dari kredibilitas si Perguruan Tinggi tersebut, tenaga pengajar yang mumpuni hingga fasilitas kampus yang memadai sehingga kegiatan perkuliahan dan penelitian bisa berjalan dengan lancar.

Lalu bagaimana Perguruan Tinggi Idaman menurut saya pribadi?

Klo boleh curhat, bisa dibilang saya termasuk mahasiswa yang kelamaan dalam studi. Istilah mahasiswa abadi sudah tidak berlaku lagi. Yang ada sekarang istilahnya adalah mahasiswa di ujung tanduk.

Alasan-alasan yang menyebabkan seorang mahasiswa menjadi mahasiswa di ujung tanduk sangat lah beragam. Dari masalah internal hingga masalah eksternal yang sulit untuk dijelaskan.

Dan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu pada akhirnya menghadapkan mahasiswa pada bidang Akademik di jurusan maupun fakultas.

Menghadapi Bidang Akademik bisa dibilang momok. Segala permasalahan akan terurai di sana. Hingga pada akhirnya memposisikan si mahasiswa bermasalah adalah terdakwa.

Pada mulanya saya selalu enggan untuk berurusan dengan yang namanya akademik. Pasalnya, dosen yang membawahinya termasuk salah satu dosen yang nyelekit dan terkenal keras terhadap mahasiswa yang bermasalah. Jika bertemu dengan beliau, saya seperti sedang bermain petak umpet. Selalu menghindar kontak mata langsung, meskipun sebenarnya beliau sadar bahwa saya menghindar.

Lambat laun momok itu berubah. Situasi kondisi dan segala tekanan yang semakin muncul terhadap status mahasiswa saya yang semakin dipertanyakan justru mengubah pandangan saya terhadap beliau.

Beliau bukan lagi seseorang yang selalu ingin saya hindari, tapi seseorang yang selalu ingin saya temui. Meskipun semua keputusan ada pada tangan saya, apakah lanjut atau tidak. Beliau tetap mendukung saya untuk menyelesaikan studi dengan segudang pemasalahan yang ada dan tetap dengan gayanya yang terkadang keras.

Setiap kali berpapasan, selalu saja beliau bertanya dengan gaya menghardik. “Gimana? Sudah belum?”

Mahasiswa yang tidak biasa mungkin akan langsung jiper (down), tapi begitu saya mendengar hardikannya saya langsung terpecut.

Segera saya pontang-panting bolak-balik ke Fakultas mengurus segala perijinan dan surat-surat pernyataan yang menyatakan saya adalah mahasiswa bermasalah.

Di dekanat, yaitu Sub Bagian Pendidikan pun sudah semakin banyak perubahan selepas saya menghilang selama kurang lebih dua tahun.

Suasana ruangan yang selalu penuh dengan kepulan asap rokok kini sudah berkurang. Wajah-wajah yang dulu saya kenal dengan nuansa “menyebalkan” sudah tergantikan dengan wajah-wajah baru. Suasana suram penuh ketidakjelasan waktu itu sudah tergantikan dengan suasana rapi terstruktur dan tentunya penuh senyuman dan sapa.

Tak jarang pegawai yang ada di sana terlebih dahulu bertanya tentang keperluan si mahasiswa yang tampak kebingungan. Situasi para pegawai memang sangat sangat sangat super sibuk, tapi selalu saja ada dari mereka yang terlebih dahulu menyapa.

Inisiatif tinggi. Pelayanan prima.

Kadang mahasiswa yang dengan terpaksa berhadapan dengan SBP punya beberapa masalah yang harus diselesaikan. Dan itu membutuhkan solusi konkret, bukan pertanyaan berputar-putar yang semakin memposisikan si mahasiswa adalah objek terdakwa yang sangat bersalah. Saya akui saya salah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya?

Ketika saya datang kembali ke SBP dan berhadapan dengan Kepala SBP menceritakan setiap kronologis permasalahan saya. Beliau tidak banyak berputar-putar bertanya tentang kebersalahan saya. Beliau memang tidak bisa membuat kebijakan, tapi beliau memberikan saya solusi dengan menghadapkan saya pada si pembuat kebijakan.

Saya tidak menyangka bahwa beliau mau repot bolak-balik untuk mengantarkan saya menghadap ke pembuat kebijakan dan mendampingi saya menjelaskan semua kronologis permasalahan yang saya hadapi. Hingga akhirnya saya mendapatkan solusi yang lebih memotivasi.

Sebuah Kampus Idaman.

Apa pun nama kampusnya, baik itu Perguruan Tinggi Idaman, Perguruan Tinggi Favorit, Perguruan Tinggi Terbaik setidaknya para dosen dan staff administrasi yang berkaitan dengan mahasiswanya bisa memberikan motivasi demi kemajuan si mahasiswa. Terlepas apakah mahasiswa tersebut berprestasi atau bermasalah. Setidaknya dengan pelayanan yang penuh senyum dan tidak dibuat ribet, akan membuat si mahasiswa merasa nyaman dengan segala kekurangan yang dimilikinya.

Kalau nggak mau ribet, lebih baik jangan jadi mahasiswa yang bermasalah deh. Tapi kalau jadi mahasiswa yang adem ayem aja juga nggak seru. Mahasiswa bermasalah, jangan pernah putus asa.

Curhat Coret ini saya ikut sertakan dalam Lomba Blog UII yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia. Mudah-mudahan UII juga bisa jadi salah satu Universitas yang pelayanan terhadap mahasiswanya seperti apa yang saya paparkan di atas.

Semangat!! (termasuk saya pribadi)

baca juga tulisan saya yang lain

Perguruan Tinggi Juga Harus Turut Berkontribusi terhadap Lingkungan

Pabrik itu Namanya Perguruan Tinggi