Foto di atas bukan rekayasa sotosop. Ini asli jepretan kamera di pagi hari setelah ceramah subuh di Masjid Desa Bunut Kecamatan Ciawi Tasikmalaya. Sebelah kiri foto adalah mentari yang hendak menyembul di balik gunung. Saya tegaskan, yang menyembul itu mentari, bukan gunung yang menyembul di balik… (hehehe).
Bagaimana saya bisa berada di sana?
Jadi ceritanya dimulai ketika salah seorang teman saya sekaligus mantan (eheum) namun kini statusnya sudah jadi suami orang (hiks) memohon bantuannya untuk ditemani pengambilan data tesisnya. Berhubung ia dan suaminya sekarang pisah ranjang, padahal usia pernikahannya baru dua bulan jalan. Yang satu jalan di Bandung, satunya lagi jalan di Prancis. Maka dengan penuh kesempatan saya membantunya seala kadarnya cinta yang tersisa (bah).
Penelitian yang tidak tahu waktu. Saat orang-orang tengah mempersiapkan dirinya untuk mudik lebaran, eh saya malah ikutan sibuk menambah ramai lalu lintas jalur Selatan. Demi mantan kekasih, tak apalah. Mumpung suaminya lagi ga ada juga. Biar bekas yang penting goyangannya, DAHSYAT!!! hehehe.
Hal yang harus saya lakukan selain menemani hatinya yang saat ini setengah hampa bisa dibilang cukup mudah. Saya hanya harus mewawancarai beberapa orang penduduk Desa Bunut terkait program yang tujuh tahun lalu pernah dilaksanakan di desa tersebut. Bayangkan lah, mewawancarai aki-aki (kakek-kakek) berusia 70-an untuk mengingat kembali hal yang sudah tujuh tahun berlalu.
Penelitian yang amat sungguh kejam neng! Memaksa aki-aki yang sudah cukup sulit berdiri di pagi hari untuk berpikir keras tentang hal yang sudah lama berlalu. Terang saja klo jawaban si aki adalah heum, ga tau, duh, eh, oh dan lenguhan lainnya tanda kebingungan. Jangan paksakan dirimu Ki. Anda bukan Einstein.
Puji syukur, wawancaranya bisa berjalan dengan lancar. Data bisa terkumpul meski tidak banyak yang benar (entahlah).
Sungguh saya terkesima dengan pemandangan yang disajikan oleh desa Bunut. Hampir sepanjang hari saya bisa melihat awan yang menyelimuti gunung di arah barat desa. Gunung yang tingginya tidak memaksa saya mendongakkan leher, malah ada gunung yang bentuknya segitiga lancip, persis gambarannya anak teka. Dan sepanjang malam, kerlip lampu menghiasi lembah perkotaan. Sayang kerlip bintang tidak ikutan hadir, maklum musim berawan, tapi cukup terhibur sama parade kembang api oleh anak-anak desa.
Semoga saja lain kesempatan saya masih bisa ke sana lagi, dan berkesempatan pula bertemu dengan neng Emilia. Gadis manis mahasiswa kebidanan yang dulu pernah KKN di desa Bunut.
“Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi.
Jikalau ada umur panjang, bolehlah kita mandi bareng.”