Sebuah Kisah di Negeri Kebun Teh

Sepulang dari trip Jawa Timur, saya jadi lebih banyak waktu luang. Oleh karenanya saya lebih sering nangkring di Bandung di sebuah kedai kafe kecil yang bernama Garasi Merdesa. Maklum lah, nasib seorang pengangguran yang sedang menanti sebuah panggilan interview.

Tetiba, di antara waktu luang itu teman saya Meb mengajak saya untuk berakhir pekan bersama ke sebuah desa di dekat Gunung Tilu, Ciwidey.

Sebenarnya saya ragu untuk mengiyakan, akan tetapi saya tidak punya agenda untuk dikerjakan pada hari tersebut. Jadilah saya menyediakan diri untuk ikut serta dalam acara akhir pekan yang punya tajuk utama berbagi daging kurban.

Idulkurban sebenarnya sudah lewat seminggu lalu. Bahkan saya sendiri malah bolos merayakannya dan memilih untuk jalan jalan. Dasar anak ga soleh. Tapi mungkin Sang Maha Bijak punya rencana khusus agar saya tidak melewatkan momen tersebut.

image

Di hari yang ditentukan akhirnya kami berangkat. Dengan menggunakan mobil Jeep yang apalah namanya saya ga hapal, kami bersembilan yang terdiri dari dua pasang suami istri, dua bujang, satu perawan, satu om dan satu bocah cilik memulai petualangan ke sebuah negeri kebun teh.

Perjalanan yang awalnya lumayan, berubah setelah masuk ke gerbang PTPN VII Nusantara. Barulah deru jalanan terasa menghentak hentak. Meski begitu, panorama sepanjang perjalanan cukup mengalihkan perhatian untuk sekedar menyesap udara hijau.

image

Setelah dua jam lamanya berkendara di tengah hamparan kebun teh, akhirnya kami tiba di lokasi yang kami tuju. Sebuah kampung kecil jauh dari titik keramaian dan hiruk pikuk. Sebuah kampung kecil yang mungkin tidak pernah eksis di google maps. Sebuah kampung kecil yang berselimut kabut.

Meb, dan beberapa rekan perjalanan sepertinya sudah begitu mengenal dengan warga warga di sana. Kunjungan ke kampung Cileueur, Gunung Patuha memang bukan yang pertama kalinya bagi meb, dan rekan rekan. Sebelum sebelumnya mereka pernah datang ke sini dengan misi yang berbeda.

image

Kampung Cileueur sepertinya hanya dihuni oleh warga pekerja kebun teh. Hampir semua orang dewasa di sana bekerja di perkebunan teh. Beruntungnya, listrik di kampung tersebut sudah masuk beberapa bulan yang lalu sehingga suasana malam tak segelap pengalaman rekan rekan sewaktu kehadiran mereka sebelum sebelumnya.

Setelah sedikit berbincang bincang, kami lalu mulai membagikan daging kurban yang sudah disiapkan. Tak perlu waktu lama untuk berkeliling, kampung Cileueur luasnya tak lebih besar dari Gelora Bung Karno. Mungkin 3/4 nya, malah kurang.

Saya sebenarnya tidak begitu tahu agenda apa yang akan dilakukan oleh rekan rekan selain membagikan daging kurban. Namun sejauh obrolan yang saya tangkap dan kami bicarakan memang tak lepas dari isu pendidikan dimana anak anak yang tinggal di kampung kampung perkebunan teh ini kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Ruang kelas yang rubuh, tenaga pengajar yang tak tentu jadwal, bahkan punya cita cita pun sepertinya menjadi sesuatu yang sulit untuk diimpikan oleh anak anak di sana.

Melanjutkan sekolah ke jenjang wajib belajar 9 tahun juga, sepertinya butuh usaha lebih dari sekedar bangun di pagi buta untuk berangkat sekolah. Apalagi jika pemerintah mencanangkan wajib belajar 12 tahun.

Saya salut kepada Kakak Yani (salah seorang dari rombongan) yang menyediakan dirinya untuk hadir bagi anak anak di sana memberikan pengajaran. Padahal beliau tidak terikat pada instansi apapun. Bisa dikatakan, beliau adalah pengajar independen. Bahkan dirinya membantu untuk memfasilitasi anak anak di sana yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA melalui program kelas jauh yang bekerja sama dengan salah satu sekolah swasta di Cimahi.

Luar biasa.

Mungkin ini sedikit ironi bagi saya. Kita selalu tergerak untuk memajukan pendidikan di luar Jawa dengan alasan daerah tertinggal. Tapi kadang kita luput memperhatikan, bahwa pendidikan di kampung halaman kita sendiri sebenarnya tidak jauh dari kata baik-baik saja.

Masih banyak hal yang perlu kita benahi. Menuntut pemerintah untuk melakukan ini itu belum tentu menyelesaikan masalah yang ada. Kita hanya perlu meluangkan waktu, untuk sekedar menyapa keadaan di kampung halaman. Menyapa adik adik kita untuk tidak berhenti bermimpi akan masa depan.

image
Sekolah kami yang rubuh
image
Mendengarkan dongeng dari Kak Taufik dan kak Budi

image

image

Mengbal

DSC_0340

Minggu dini hari kemarin untuk pertama kalinya saya masuk stadion Siliwangi sambil nobar pertarungan dahsyat di tahun 2015 antara Barcelona dan Juventus. Sumpah ini mah rame pisan. Padahal saya bukan fans Barca, bukan pula fans Juve. Hanya supporter yang suka make Manchester City klo sedang maen PES.

Suasana pertandingannya sendiri bener bener meriah. Terutama fans na Barca, kebetulan aja saya duduknya di bagian pendukung Barca. Hampir di setiap momen Barca sedang menyerang, penonton pecah. Saya hampir beberapa kali menenangkan penonton di depan saya yang ga sadar klo badannya menghalangi pandangan saya ke layar. Pas lagi seru serunya menggiring bola, eh tiba tiba dia malah berdiri. Terus orang orang teriak gol.

Kampret!! Pengen saya toyor kepalanya.

Saya ga mau kehilangan momen seru berikutnya saat kedua tim sedang menyerang, jadi pas momen serangan datang, tangan saya sudah siaga di pundaknya dan menahan dia untuk tidak berdiri. Masih mending saya tahan badannya, daripada saya suntrungin pantatnya pake sepatu saya yang merknya Compass.

Pertandingan yang pada akhirnya dimenangkan oleh Barca dengan skor 3-1 ini menjadi euforia fans Barca. Begitu piriwit dibunyikan, fans langsung ngabeuleum flare, serta tak tak dung dung genderang dan segala umbul umbul dikibarkan ke kiri dan kanan. Serasa menang perang.

DSC_0347

DSC_0338

Ambience supporter yang mengumandangkan dukungannya ini memang terasa luar biasa dibandingkan ambience yang sering saya dengar di PES. Serasa ada getar getar di dada.

Jadi kepengen nonton pas Persib tanding.

Ah sayang, kompetisinya keburu dibekokan sama Menpora dan disanksi sama FIFA. Menyebalkan.

Kumaha atuh ieu teh Jok?

Hiburan rakyat Endonesa malah dipareuman. Kamu udah ga sayang lagi ya sama rakyat. Lama lama jadi kepengen nyukur kumis Menpora.

Menolong

Kejadian ini terjadi beberapa hari lalu ketika saya sengaja pergi ke kota untuk mengurusi beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan pribadi sih.
Jadi waktu itu, saya hendak pergi ke Balubur. Kalau pergi ke kota saya cenderung untuk menggunakan jasa transportasi yang pabalatak yaitu angkot. Alasannya karena saya ga pede untuk mengendarai motor di keramaian, terus rasanya cape klo harus sakit menyalip di antara hiruk pikuk manusia yang ter-mesin-isasi, dan yang paling utama, saya ga punya SIM.

Di dalam angkot saya baru ngeh. Ternyata hari itu adalah sabtu. Hari paling hectic di kota Bandung. Saya sampai diturunkan dengan sengaja oleh supir yang menyerah pada jalanan dua kali oleh angkot dengan jurusan yang sama.

Pada pemberhentian yang kedua ini kebetulan saya barengan dengan seorang penumpang penyandang tuna netra. Setengah kebingungan karena diturunkan di tengah jalan, dia bertanya “Ini dimana?”

Saya bingung jawabnya, karena saya tahu jalan tapi ga tahu nama. Dengan sigap saya lalu memegang lengannya dan menuntunnya ke trotoar. Dalam kondisi jalan yang macet, tentu bukan perilaku baik jika mengtakacuhkan beliau kebingungan di tengah jalan yang penuh dengan pengemudi tak sabaran.

Saya tanya beliau,
“Mau kemana A?”
“Ke Cikapayang,” jawabnya.
“Ya sudah A, kita cari angkot di depan. Ikuti saya dulu.”

Beliau mengeluarkan tongkatnya dan saya menuntunnya naik ke jalan trotoar. Kalau diingat ingat, trotoar saat itu juga tidak begitu ramah pagi penyandang disabilitas. Trotoar penuh dengan motor yang diparkir. Menyisakan sedikit ruang untuk pejalan kaki yang harus berhati hati agar tidak jatuh ke selokan yang dalam.

Beberapa kali saya menengok ke belakang. Memastikan si Aa tidak jatuh terjerembab ke dalam selokan atau langkahnya terhadang oleh ban ban motor yang menjorok tak beraturan.

Klo sedang menuntun pacar *ehem dulu*, biasanya jalan saya cepat. Tapi kemarin itu, saya benar benar memperhatikan langkah saya.

Di tengah kemacetan, beruntung masih ada angkot di depan yang kosong. Saya lalu menuntun si Aa sampai pintu masuk. Dan menitipkannya ke pak supir.

Berhubung jarak saya ke lokasi yang dituju lumayan lah sudah dekat. Saya  memutuskan untuk jalan kaki saja. Meninggalkan si Aa, angkot dan kemacetan di belakang saya.

Setelah urusan di Balubur kelar. Saya memilih untuk pulang. Karena jalanan masih kurang ajar macetnya, saya jalan kaki lagi dari Balubur ke BIP. Lumayan deket lah itu mah.

Sesampainya di rumah, saya kemudian mengambil motor odong odong yang biasa saya pakai bertugas untuk kembali ke kantor (anggap saja kantor). Motor GL PRO tahun 93 klo ga salah. Motor punya kantor sekaligus motor kopling pertama yang akhirnya lihai saya kendarai.

Di tengah perjalanan. Tiba tiba si GL mati. Bensinnya cekak. Ah sial. Pom bensin terdekat sekitar 500meter klo ga salah. Terpaksa saya dorong di tengah cuaca yang mulai tidak bersahabat.

Di depan saya, tiba tiba ada motor yang berhenti dan memutar arah. Padahal itu jalan satu arah loh. Dia kemudian berhenti di samping saya.

“Kenapa A?”
“Bensinnya habis,” jawab saya singkat.
“Saya dorong step ya A?” tawar dia (maksudnya mendorong menggunakan motornya, dengan sebelah kakinya menempel di step belakang motor saya).
“Oh boleh,” jawab saya sambil menaiki si GL.

Dia kemudian memutar motornya dan mendorong dari belakang.

Syukur ada yang mau bantu. Kalau saya harus dorong sendiri sih tidak masalah. Tapi pertolongan ini justru meringankan beban saya. Saya tidak harus berbecek-becekan menuntun motor melalui kubangan kubangan air yang mengenang di jalan.

Di perempatan jalan, atau tepatnya di depan pom bensin kami berpamitan. Saya mengucapkan terima kasih banyak atas bantuannya.

Dalam perjalanan, saya jadi teringat kembali tentang kejadian sebelumnya  di Balubur. Mungkin ini karma. Kita tak pernah tahu kapan seseorang akan menolong kita, maka mulailah.

Yang Muda Ikut Peduli

#SaveKukang

Sewaktu kampanye kukang kemarin di Bandung, saya sempat berkenalan dengan seorang sukarelawan yang masih terbilang muda. Namanya Nugi, usianya mungkin baru sekitar 13 tahun. ABG. Saya yakin, dia klo kencing pasti berlari karena gurunya kencing berdiri.

Jadi ceritanya, dia sebagai sukarelawan muda di kegiatan kampanye penyadartahuan kukang kemarin memang ikut terlibat sebagai bagian dari tugas sekolahnya yang mengharuskan siswanya untuk magang. Keren ya, anak SMP udah disuruh magang. Lebih kerennya lagi hanya dia satu satunya yang ikutan magang di lembaga non profit tentang pelestarian satwa liar yang menjadi inisiator kegiatan kampanye tersebut.

Yang paling menarik dari keterlibatan Nugi adalah tadi pagi ketika saya membuka facebook, saya mendapati sebuah gambar yang mana isinya adalah hasil laporan Nugi selama magang. Seperti pada gambar di bawah ini.

masih mau pelihara kukang

Berdasarkan gambar di atas, Nugi memaparkan bagaimana mata rantai ancaman terhadap kukang di alam membentuk sebuah siklus yang tiada akhir. Pun demikian, upaya penyelamatan kukang melalui rehabilitasi dan pelepasliaran tetap tidak akan menghilangkan siklus yang terjadi.

Selama satu hari kebersamaan saya dengan Nugi, saya tahu bahwa Nugi ikut karena tugas sekolah. Tapi saya justru tidak melihat hal tersebut sebagai alasannya. Saya justru melihat sosok Nugi yang ikut terlibat karena tergugah empatinya.

Nugi bisa merasakan bahwa kukang kukang yang dipaksa menjadi hewan peliharaan adalah kukang yang menderita. Nugi mengerti bahwa upaya penyelamatan kukang yang sudah pernah dipelihara untuk dikembalikan ke habitatnya itu tidak mudah. Nugi paham betul bagaimana mata rantai setan perburuan dan perdagangan kukang sebenarnya bisa diselesaikan secara sederhana melalui kesadaran masyarakat untuk berpaling dari rasa ingin memiliki kukang sebagai peliharaan.

Dan dari satu orang Nugi, ia telah berbagi kepedulian kepada teman teman di sekolahnya. Mengajak teman temannya untuk berpikir cerdas, kritis dan berperan aktif dalam upaya penyelamatan satwa liar.

Jadi,

kamu MASIH MAU PELIHARA kukang?

200 Alasan Untuk Mencintai Kota Bandung

Tidak sepenuhnya saya adalah orang Bandung. Meski ada sedikit berbau kata Bandung-nya, yaitu Kabupaten Bandung hehehe, tapi hampir kebanyakan waktu saya dihabiskan di Kota satu ini. Kota yang banyak julukannya, dari yang paling bagus hingga julukan yang amit-amit baunya ini kiprahnya sudah mencapai angka 200.

200 tahun bandung

Perjalanan yang sangat panjang buat Bandung.

Di usianya yang sekarang pun, Bandung masih tidak bisa lepas dari segala problematika yang ada. Dari tata kota yang semarawut, pembangunan yang nggak jelas kemana arahnya, hingga kondisi lingkungan yang kian hari kian buruk.

Bade kamana atuh Bandung?

Beberapa menit yang lalu saya membaca sebuah notes FB teman saya yang berisi curhatannya terhadap kota Bandung. Menurut saya, tulisannya layak untuk dibaca dan disebarluaskan bagi mereka yang ngerasa menjadi warga Bandung, pernah tinggal di Bandung, jatuh hati di Bandung, diputusin di Bandung dan lain-lain sebagainya di Bandung.

Berikut adalah rangkaian kata dari Dimas Sandya tentang Bandung,

Di bawah pemerintahan kolonial, Bandung pernah mahsyur dengan julukan Parisj Van Java. Sebuah citra yang kini tampak usang. Untuk mengembalikan identitasnya Bandung pun berbenah. Jalan Braga sebagai ikon klasik Kota Bandung, dirombak total. Tak tanggung-tanggung, Pemkot Bandung rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk ‘sekedar’ mengganti aspal dengan kepingan batu andesit. Lampu-lampu berornamen klasik kemudian ditancapkan. Pohon-pohon karet yang harganya jutaan ditanam. Semua demi harapan bahwa Bandung masih bisa menampilkan sekeping potongan masa lalunya.

Sayang belum genap dua tahun berjalan, usaha ini belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Jalanan batu itu tak pernah benar-benar jadi pedestrian. Dan pohon-pohon karet pun berganti karena mahalnya perawatan dan rawan pencurian. Meski batu-batu itu pecah belah karena beratnya kendaraan, Pemkot masih keukeuh agar lapisan batu di Braga tetap dipertahankan. Padahal sejatinya sebuah usaha revitalisasi kawasan yang tidak disertai penelitian dan konsultasi dengan ahli sejarah, arsitektur, maupun budayawan hanya akan memberikan hasil yang sia-sia. Kali ini, giliran Braga yang jadi korban.

Dulu, Bandung juga sudah dipersiapkan menjadi calon ibu kota Hindia Belanda sehingga ditata dengan sangat apik agar nyaman ditinggali. Puluhan taman pun dibangun. Dari yang sekedar jalur hijau seperti Tjilaki Plein, taman kota yang rindang seperti Molluken Park, sampai hutan kota yang dilengkapi taman hewan seperti Jubileum Park. Apalagi udara Bandung yang sejuk, membuat suasana Bandung terasa semakin segar. Tak heran jika Bandung kemudian disebut-sebut sebagai Kota Kembang. Semua berkat taman-taman nan elok dengan pemandangan bunga-bunga yang cantik.

Tapi lihatlah nasib taman kota kini. Kusam dan berpagar, nyaris tak bernyawa. Hanya beberapa yang masih tampak cantik terpelihara. Itu pun karena tangan-tangan sponsor yang berjasa, sehingga namanya bisa dipajang. Untunglah masih ada taman-taman mobile yang jadi penyejuk di persimpangan. Meski terkesan dipaksakan, setidaknya taman itu masih bisa menyajikan warna-warni bunga dan tanaman. Sekedar untuk mengingatkan kalau Bandung ‘pernah’ jadi Kota Kembang.

Jika bicara tentang Bandung, rasanya memang sulit untuk lepas dari kisah-kisah romantisme masa lalunya. Padahal kondisi Bandung saat ini sangat jauh berbeda dengan suasana Bandung tempo dulu.  Jejak-jejak kejayaan Bandung di masa silam hanya dapat kita temui di beberapa sudut jalan. Itu pun dalam kondisi yang memprihatinkan. Beberapa diantaranya banyak yang rusak dan tidak terawat atau malah berubah menjadi bangunan-bangunan modern yang tidak mempunyai nilai sejarah. Jadi untuk sementara lupakan Bandung sebagai Kota Kembang, apalagi Paris-nya Jawa!!

Hal ini memang sangat disayangkan. Kota yang pernah disebut-sebut sebagai Kota Arsitektur dunia karena kecantikan gedung-gedung art deco-nya, kini malah semakin kehilangan identitas. Bangunan-bangunan heritage dirobohkan. Berganti bangunan-bangunan baru yang menampilkan keangkuhan. Para pengelola dan warga kotanya lebih menyukai pembangunan mal-mal dan pusat pusat keramaian lainnya dibanding pemugaran dan pelestarian bangunan bersejarah.

Perlahan tapi pasti, citra Parisj van Java berangsur memudar dan gambaran Kota Kembang hanya tinggal kenangan. Sebuah kota yang indah dengan tata letak yang teratur hanya tersisa dalam cerita. Julukan Bandung kini adalah Parit Van Java, dengan banjir cileuncang dimana-mana. Dari mulai sistem drainase kota, hingga revitalisasi kawasan, gagal dilakukan pemerintah kota. Dalam pembangunannya, Bandung berkembang semakin cepat dan bahkan kurang terkendali.

Saat ini, relasi antara pengelola kota dan warganya kurang terbina dengan baik. Pihak pengelola kota seakan enggan membeberkan rencananya ke publik dan membiarkan warga kotanya untuk memilih sekian alternatif cara membangun kotanya. Ruang yang diberikan bagi mesyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik sangatlah minim. Alhasil, jadilah Bandung yang semakin semrawut dari hari ke hari. Di usianya yang semakin senja, kota ini tampak letih menanggung bebannya sendiri. Bahkan pada saat hari libur atau akhir pekan, Bandung seringkali hampir ‘pingsan’ karena tak kuat lagi menahan derasnya arus pendatang.

Apa yang terjadi di Bandung hanyalah potret yang mewakili kondisi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ketidakselarasan para pengelola kota dengan para perencana membuat penataan kota-kota Indonesia ‘nyaris’ tak ada yang beres. Rendahnya interaksi dan koordinasi tergambarkan ke dalam kondisi kota yang begitu carut marut dan tampak kurang terencana.

Kita amati saja perbedaan antara wilayah Bandung inti dan Bandung perluasan. Lihatlah, betapa terstrukturnya kota yang direncanakan oleh pemerintah kolonial. Mereka begitu apik dalam menata jalan dengan pohon peneduh di kedua sisinya. Mereka juga begitu manusiawi dalam menyediakan ruang-ruang terbuka hijau dalam kota. Namun, jika kita berjalan sedikit ke arah timur. Lihatlah betapa gersang, berantakan, dan kurang indahnya daerah tersebut. Adakah ruang-ruang terbuka hijau di sana yang menjadi tempat bagi publik untuk berolahraga atau sekedar berekreasi? Kalau pun ada, sepertinya masih bisa dihitung dengan jari.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah mengenai masalah penggunaan lahan di kota ini. Banyak orang yang bilang kalau di Bandung, kita bisa membangun apa saja dan dimana saja. Lho, kok gitu? Memang itulah kenyatannya, selama yang dipikirkan oleh pengelola kota ini hanya konsep kota “maruk” jasa. Lihat saja kondisi di sepanjang jalan Dago yang dulunya diperuntukkan untuk kawasan perumahan. Saat ini, sebagian besar lahan yang ada di sana telah berubah fungsi. Ada yang jadi plaza, kantor, factory outlet dan sebagainya.

Itu baru satu jalan. Kasus-kasus yang terjadi di daerah-daerah lainnya juga hampir serupa. Belum lagi persoalan Babakan Siliwangi yang masih menjadi pro-kontra. Intinya setiap lahan benar-benar dilihat sebagai peluang bisnis tanpa diantisipasi dampak jangka panjangnya. Kalau sudah begini lantas orang sering bertanya,” Kamana atuh insinyur planologina?”.

Bandungku dulu dan kini memang telah banyak berubah. Kota taman yang dulunya penuh dengan pepohonan yang rindang serta bunga-bunga yang bermekaran, kini telah menjadi sebuah kota metropolitan yang ramai dengan segala fenomenanya. Kemacetan, polusi, dan banjir ‘cileuncang’ telah menjadi bagian dari keseharian kota ini.

Tapi Bandung tetaplah Bandung. Sejak dulu hingga kini, kota ini senantiasa menawarkan nuansa yang berbeda hingga membuat orang betah untuk berlama-lama melancong. Meski kini kondisinya kurang nyaman, pesona yang dihadirkannya tetap mampu menjadi magnet yang menarik banyak orang untuk datang dan singgah di kota ini. Tidak terkecuali, bagi mereka yang rela jauh-jauh datang dari negeri singa atau negeri jiran.

Di usianya yang ke-200, ingin rasanya membuat daftar 200 hal yang membuat saya bangga jadi orang Bandung. Sayangnya, hal ini terusik juga dengan adanya 200 kerusakan yang ada di Bandung. Lalu seperti apakah kondisi Bandung nanti? Akankah ada Bandung yang lebih baik di tengah kekiniannya yang begitu semrawut? Mudah-mudahan saja masih ada secercah harapan untuk Bandung.

Dengan segala potensi yang ada, Bandung harus segera menetapkan pilihan dan visinya ke depan. Tidak perlu jadi metropolis, tapi sakit-sakitan. Toh, kemajuan suatu kota bukan melulu soal kemodernan. Sudah saatnya kualitas hidup dan kenyamanan warga menjadi prioritas utama. Kalau tidak, nasib Bandung mungkin akan seperti DKI Jakarta yang menanggung peran terlalu banyak hingga transportasinya nyaris lumpuh. Semua karena aglomerasi penduduk dan pemusatan kegiatan yang berlebihan. Akibatnya gelar Ibu Kota pun terancam dipindahkan.

Semoga saja ke depannya para pengelola dan warga kota ini mampu bersikap lebih arif dan bijak dalam membangun dan menjaga kota ini. Kita perlu bekerja sama untuk mengembalikan pesona Bandung agar tak lekas hilang ditelan masa. Agar kecantikannya bisa tampak kembali dan senantiasa terjaga. Agar Bandungku dulu, kini, dan nanti bisa tetap dipuja. Selamat ulang tahun Bandung!!

 

Sekali lagi, selamat Ulang Tahun Bandung!!!