Sepulang dari trip Jawa Timur, saya jadi lebih banyak waktu luang. Oleh karenanya saya lebih sering nangkring di Bandung di sebuah kedai kafe kecil yang bernama Garasi Merdesa. Maklum lah, nasib seorang pengangguran yang sedang menanti sebuah panggilan interview.
Tetiba, di antara waktu luang itu teman saya Meb mengajak saya untuk berakhir pekan bersama ke sebuah desa di dekat Gunung Tilu, Ciwidey.
Sebenarnya saya ragu untuk mengiyakan, akan tetapi saya tidak punya agenda untuk dikerjakan pada hari tersebut. Jadilah saya menyediakan diri untuk ikut serta dalam acara akhir pekan yang punya tajuk utama berbagi daging kurban.
Idulkurban sebenarnya sudah lewat seminggu lalu. Bahkan saya sendiri malah bolos merayakannya dan memilih untuk jalan jalan. Dasar anak ga soleh. Tapi mungkin Sang Maha Bijak punya rencana khusus agar saya tidak melewatkan momen tersebut.
Di hari yang ditentukan akhirnya kami berangkat. Dengan menggunakan mobil Jeep yang apalah namanya saya ga hapal, kami bersembilan yang terdiri dari dua pasang suami istri, dua bujang, satu perawan, satu om dan satu bocah cilik memulai petualangan ke sebuah negeri kebun teh.
Perjalanan yang awalnya lumayan, berubah setelah masuk ke gerbang PTPN VII Nusantara. Barulah deru jalanan terasa menghentak hentak. Meski begitu, panorama sepanjang perjalanan cukup mengalihkan perhatian untuk sekedar menyesap udara hijau.
Setelah dua jam lamanya berkendara di tengah hamparan kebun teh, akhirnya kami tiba di lokasi yang kami tuju. Sebuah kampung kecil jauh dari titik keramaian dan hiruk pikuk. Sebuah kampung kecil yang mungkin tidak pernah eksis di google maps. Sebuah kampung kecil yang berselimut kabut.
Meb, dan beberapa rekan perjalanan sepertinya sudah begitu mengenal dengan warga warga di sana. Kunjungan ke kampung Cileueur, Gunung Patuha memang bukan yang pertama kalinya bagi meb, dan rekan rekan. Sebelum sebelumnya mereka pernah datang ke sini dengan misi yang berbeda.
Kampung Cileueur sepertinya hanya dihuni oleh warga pekerja kebun teh. Hampir semua orang dewasa di sana bekerja di perkebunan teh. Beruntungnya, listrik di kampung tersebut sudah masuk beberapa bulan yang lalu sehingga suasana malam tak segelap pengalaman rekan rekan sewaktu kehadiran mereka sebelum sebelumnya.
Setelah sedikit berbincang bincang, kami lalu mulai membagikan daging kurban yang sudah disiapkan. Tak perlu waktu lama untuk berkeliling, kampung Cileueur luasnya tak lebih besar dari Gelora Bung Karno. Mungkin 3/4 nya, malah kurang.
Saya sebenarnya tidak begitu tahu agenda apa yang akan dilakukan oleh rekan rekan selain membagikan daging kurban. Namun sejauh obrolan yang saya tangkap dan kami bicarakan memang tak lepas dari isu pendidikan dimana anak anak yang tinggal di kampung kampung perkebunan teh ini kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Ruang kelas yang rubuh, tenaga pengajar yang tak tentu jadwal, bahkan punya cita cita pun sepertinya menjadi sesuatu yang sulit untuk diimpikan oleh anak anak di sana.
Melanjutkan sekolah ke jenjang wajib belajar 9 tahun juga, sepertinya butuh usaha lebih dari sekedar bangun di pagi buta untuk berangkat sekolah. Apalagi jika pemerintah mencanangkan wajib belajar 12 tahun.
Saya salut kepada Kakak Yani (salah seorang dari rombongan) yang menyediakan dirinya untuk hadir bagi anak anak di sana memberikan pengajaran. Padahal beliau tidak terikat pada instansi apapun. Bisa dikatakan, beliau adalah pengajar independen. Bahkan dirinya membantu untuk memfasilitasi anak anak di sana yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA melalui program kelas jauh yang bekerja sama dengan salah satu sekolah swasta di Cimahi.
Luar biasa.
Mungkin ini sedikit ironi bagi saya. Kita selalu tergerak untuk memajukan pendidikan di luar Jawa dengan alasan daerah tertinggal. Tapi kadang kita luput memperhatikan, bahwa pendidikan di kampung halaman kita sendiri sebenarnya tidak jauh dari kata baik-baik saja.
Masih banyak hal yang perlu kita benahi. Menuntut pemerintah untuk melakukan ini itu belum tentu menyelesaikan masalah yang ada. Kita hanya perlu meluangkan waktu, untuk sekedar menyapa keadaan di kampung halaman. Menyapa adik adik kita untuk tidak berhenti bermimpi akan masa depan.

