“Pak Gendut”, dia memperkenalkan dirinya. Orang-orang di sekitar rumahnya pun memanggilnya demikian. Padahal ia tidak gendut-gendut amat. Sama seperti om-om setengah abad yang kesulitan melipatkan tubuh karena terganjal oleh perut buncitnya.
Pekerjaannya, ah sebut saja dia seorang pekerja proyek. Dia tinggal di suatu tempat yang tidak memiliki alamat resmi. Tempatnya berteduh hanyalah pondasi kayu semi permanen yang dibangun liar di tengah lahan kosong sebuah kota. Yang suatu saat bisa saja digusur tanpa harus mendapatkan ganti rugi.
“Willy”, begitu Pak Gendut memberikan nama padanya. Orangutan jantan yang sudah dipeliharanya sejak 2005 silam. Awal perjumpaan Pak Gendut dengan Willy dimulai saat beliau masih berjaya dengan proyek-proyek pembukaan lahan di kota Berau. Di sanalah, Pak Gendut melihat Willy kecil dipelihara oleh warga setempat.
Iba atau rasa ingin memiliki menjadi alasan Pak Gendut memutuskan untuk membeli Willy dari pemiliknya. Dan sejak saat itu, Willy kecil menjadi bagian dari keluarga Pak Gendut beserta teman-teman perjuangan proyeknya.
6 tahun berlalu, dan kini Pak Gendut tidak se-berjaya dahulu. Sepertinya sudah jarang sekali ia mendapatkan proyek. Walhasil, dampak krisis ekonomi dirasakan pula oleh Willy. Tak ada lagi kemanjaan akan kemewahan yang didapatnya. Kandang butut dan nasi sisa adalah hari-hari yang selalu Willy temui. Namun Willy tidak bisa mengeluh, karena dia tidak bisa bicara bahasa manusia.
Sadar akan ketidakmampuannya, Pak Gendut akhirnya menyerah. Jangankan menghidupi Willy, menghidupi dirinya sendiri pun dia sudah kewalahan. Dia pun berpikir, bagaimana agar bisa melepaskan diri dari Willy namun Willy tetap bisa bertahan hidup. Jalan keluarnya adalah dengan menyerahkan orangutan ke lembaga konservasi eksitu.
Entah sebuah kebetulan atau sudah suratan takdir jika kemudian Pak Gendut harus berjumpa dengan Organisasi Perlindungan Orangutan. Setidaknya, niat baik Pak Gendut untuk menyerahkan Willy ke tangan yang lebih layak tidak akan disia-siakan begitu saja. Lalu, pertemuan dengan Pak Gendut pun dilanjutkan dengan menjenguk Willy.
Dimana Willy tinggal?
Ternyata dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa melewatkan makan siang di sebuah warung pecel. Tidak jauh dari jalan yang biasa kami lalui saat bergerak menuju pusat kota. Tidak jauh memang. Sebuah tempat tanpa alamat jelas.
Seekor orangutan yang seharusnya hidup di hutan rimba, ternyata tinggal dekat di tetangga sebelah kita. Bagaimana bisa dia menjadi kasat mata, padahal dia tidak pernah berguru pada dukun -bahkan tukang sulat sekalipun-.
Untuk Willy,
Secepatnya kami akan menyelamatkanmu. Semoga.
Selalu suka sama cerita kamu tentang menyelamatkan alam 🙂
Kirain tadi willy adek aku :d
Gak sabar nunggu cerita willy selanjutnya
Terima kasih Put.. salam buat adikmu si Willy hehehe
wah, kirain tadi Pak Gendut itu nama lain si Willy. Hihi
Pak Gendutnya baik ya, mau melihara si Willy.
Tapi emangnya boleh memelihara hewan yang dilindungi gitu?
heum, mengklarifikasi sedikit.
Meskipun Pak Gendut baik, tapi memelihara orangutan tetap lah tidak baik. Untungnya Pak Gendut mau mengembalikan Willy tanpa harus melalui proses sita menyita.
ohh,, mas ini pecinta orang utan toh? saya punya national georgraphi edisi ini. raaameee.
*
Izin komentar mas 😀
Tepatnya, Pencinta yang tidak harus memiliki.. hehehe
tapi akan lebih klo hewan hidup di alamnya… ^^
betul Bang, lebih indah di alamnya