200 Alasan Untuk Mencintai Kota Bandung

Tidak sepenuhnya saya adalah orang Bandung. Meski ada sedikit berbau kata Bandung-nya, yaitu Kabupaten Bandung hehehe, tapi hampir kebanyakan waktu saya dihabiskan di Kota satu ini. Kota yang banyak julukannya, dari yang paling bagus hingga julukan yang amit-amit baunya ini kiprahnya sudah mencapai angka 200.

200 tahun bandung

Perjalanan yang sangat panjang buat Bandung.

Di usianya yang sekarang pun, Bandung masih tidak bisa lepas dari segala problematika yang ada. Dari tata kota yang semarawut, pembangunan yang nggak jelas kemana arahnya, hingga kondisi lingkungan yang kian hari kian buruk.

Bade kamana atuh Bandung?

Beberapa menit yang lalu saya membaca sebuah notes FB teman saya yang berisi curhatannya terhadap kota Bandung. Menurut saya, tulisannya layak untuk dibaca dan disebarluaskan bagi mereka yang ngerasa menjadi warga Bandung, pernah tinggal di Bandung, jatuh hati di Bandung, diputusin di Bandung dan lain-lain sebagainya di Bandung.

Berikut adalah rangkaian kata dari Dimas Sandya tentang Bandung,

Di bawah pemerintahan kolonial, Bandung pernah mahsyur dengan julukan Parisj Van Java. Sebuah citra yang kini tampak usang. Untuk mengembalikan identitasnya Bandung pun berbenah. Jalan Braga sebagai ikon klasik Kota Bandung, dirombak total. Tak tanggung-tanggung, Pemkot Bandung rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk ‘sekedar’ mengganti aspal dengan kepingan batu andesit. Lampu-lampu berornamen klasik kemudian ditancapkan. Pohon-pohon karet yang harganya jutaan ditanam. Semua demi harapan bahwa Bandung masih bisa menampilkan sekeping potongan masa lalunya.

Sayang belum genap dua tahun berjalan, usaha ini belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Jalanan batu itu tak pernah benar-benar jadi pedestrian. Dan pohon-pohon karet pun berganti karena mahalnya perawatan dan rawan pencurian. Meski batu-batu itu pecah belah karena beratnya kendaraan, Pemkot masih keukeuh agar lapisan batu di Braga tetap dipertahankan. Padahal sejatinya sebuah usaha revitalisasi kawasan yang tidak disertai penelitian dan konsultasi dengan ahli sejarah, arsitektur, maupun budayawan hanya akan memberikan hasil yang sia-sia. Kali ini, giliran Braga yang jadi korban.

Dulu, Bandung juga sudah dipersiapkan menjadi calon ibu kota Hindia Belanda sehingga ditata dengan sangat apik agar nyaman ditinggali. Puluhan taman pun dibangun. Dari yang sekedar jalur hijau seperti Tjilaki Plein, taman kota yang rindang seperti Molluken Park, sampai hutan kota yang dilengkapi taman hewan seperti Jubileum Park. Apalagi udara Bandung yang sejuk, membuat suasana Bandung terasa semakin segar. Tak heran jika Bandung kemudian disebut-sebut sebagai Kota Kembang. Semua berkat taman-taman nan elok dengan pemandangan bunga-bunga yang cantik.

Tapi lihatlah nasib taman kota kini. Kusam dan berpagar, nyaris tak bernyawa. Hanya beberapa yang masih tampak cantik terpelihara. Itu pun karena tangan-tangan sponsor yang berjasa, sehingga namanya bisa dipajang. Untunglah masih ada taman-taman mobile yang jadi penyejuk di persimpangan. Meski terkesan dipaksakan, setidaknya taman itu masih bisa menyajikan warna-warni bunga dan tanaman. Sekedar untuk mengingatkan kalau Bandung ‘pernah’ jadi Kota Kembang.

Jika bicara tentang Bandung, rasanya memang sulit untuk lepas dari kisah-kisah romantisme masa lalunya. Padahal kondisi Bandung saat ini sangat jauh berbeda dengan suasana Bandung tempo dulu.  Jejak-jejak kejayaan Bandung di masa silam hanya dapat kita temui di beberapa sudut jalan. Itu pun dalam kondisi yang memprihatinkan. Beberapa diantaranya banyak yang rusak dan tidak terawat atau malah berubah menjadi bangunan-bangunan modern yang tidak mempunyai nilai sejarah. Jadi untuk sementara lupakan Bandung sebagai Kota Kembang, apalagi Paris-nya Jawa!!

Hal ini memang sangat disayangkan. Kota yang pernah disebut-sebut sebagai Kota Arsitektur dunia karena kecantikan gedung-gedung art deco-nya, kini malah semakin kehilangan identitas. Bangunan-bangunan heritage dirobohkan. Berganti bangunan-bangunan baru yang menampilkan keangkuhan. Para pengelola dan warga kotanya lebih menyukai pembangunan mal-mal dan pusat pusat keramaian lainnya dibanding pemugaran dan pelestarian bangunan bersejarah.

Perlahan tapi pasti, citra Parisj van Java berangsur memudar dan gambaran Kota Kembang hanya tinggal kenangan. Sebuah kota yang indah dengan tata letak yang teratur hanya tersisa dalam cerita. Julukan Bandung kini adalah Parit Van Java, dengan banjir cileuncang dimana-mana. Dari mulai sistem drainase kota, hingga revitalisasi kawasan, gagal dilakukan pemerintah kota. Dalam pembangunannya, Bandung berkembang semakin cepat dan bahkan kurang terkendali.

Saat ini, relasi antara pengelola kota dan warganya kurang terbina dengan baik. Pihak pengelola kota seakan enggan membeberkan rencananya ke publik dan membiarkan warga kotanya untuk memilih sekian alternatif cara membangun kotanya. Ruang yang diberikan bagi mesyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik sangatlah minim. Alhasil, jadilah Bandung yang semakin semrawut dari hari ke hari. Di usianya yang semakin senja, kota ini tampak letih menanggung bebannya sendiri. Bahkan pada saat hari libur atau akhir pekan, Bandung seringkali hampir ‘pingsan’ karena tak kuat lagi menahan derasnya arus pendatang.

Apa yang terjadi di Bandung hanyalah potret yang mewakili kondisi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ketidakselarasan para pengelola kota dengan para perencana membuat penataan kota-kota Indonesia ‘nyaris’ tak ada yang beres. Rendahnya interaksi dan koordinasi tergambarkan ke dalam kondisi kota yang begitu carut marut dan tampak kurang terencana.

Kita amati saja perbedaan antara wilayah Bandung inti dan Bandung perluasan. Lihatlah, betapa terstrukturnya kota yang direncanakan oleh pemerintah kolonial. Mereka begitu apik dalam menata jalan dengan pohon peneduh di kedua sisinya. Mereka juga begitu manusiawi dalam menyediakan ruang-ruang terbuka hijau dalam kota. Namun, jika kita berjalan sedikit ke arah timur. Lihatlah betapa gersang, berantakan, dan kurang indahnya daerah tersebut. Adakah ruang-ruang terbuka hijau di sana yang menjadi tempat bagi publik untuk berolahraga atau sekedar berekreasi? Kalau pun ada, sepertinya masih bisa dihitung dengan jari.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah mengenai masalah penggunaan lahan di kota ini. Banyak orang yang bilang kalau di Bandung, kita bisa membangun apa saja dan dimana saja. Lho, kok gitu? Memang itulah kenyatannya, selama yang dipikirkan oleh pengelola kota ini hanya konsep kota “maruk” jasa. Lihat saja kondisi di sepanjang jalan Dago yang dulunya diperuntukkan untuk kawasan perumahan. Saat ini, sebagian besar lahan yang ada di sana telah berubah fungsi. Ada yang jadi plaza, kantor, factory outlet dan sebagainya.

Itu baru satu jalan. Kasus-kasus yang terjadi di daerah-daerah lainnya juga hampir serupa. Belum lagi persoalan Babakan Siliwangi yang masih menjadi pro-kontra. Intinya setiap lahan benar-benar dilihat sebagai peluang bisnis tanpa diantisipasi dampak jangka panjangnya. Kalau sudah begini lantas orang sering bertanya,” Kamana atuh insinyur planologina?”.

Bandungku dulu dan kini memang telah banyak berubah. Kota taman yang dulunya penuh dengan pepohonan yang rindang serta bunga-bunga yang bermekaran, kini telah menjadi sebuah kota metropolitan yang ramai dengan segala fenomenanya. Kemacetan, polusi, dan banjir ‘cileuncang’ telah menjadi bagian dari keseharian kota ini.

Tapi Bandung tetaplah Bandung. Sejak dulu hingga kini, kota ini senantiasa menawarkan nuansa yang berbeda hingga membuat orang betah untuk berlama-lama melancong. Meski kini kondisinya kurang nyaman, pesona yang dihadirkannya tetap mampu menjadi magnet yang menarik banyak orang untuk datang dan singgah di kota ini. Tidak terkecuali, bagi mereka yang rela jauh-jauh datang dari negeri singa atau negeri jiran.

Di usianya yang ke-200, ingin rasanya membuat daftar 200 hal yang membuat saya bangga jadi orang Bandung. Sayangnya, hal ini terusik juga dengan adanya 200 kerusakan yang ada di Bandung. Lalu seperti apakah kondisi Bandung nanti? Akankah ada Bandung yang lebih baik di tengah kekiniannya yang begitu semrawut? Mudah-mudahan saja masih ada secercah harapan untuk Bandung.

Dengan segala potensi yang ada, Bandung harus segera menetapkan pilihan dan visinya ke depan. Tidak perlu jadi metropolis, tapi sakit-sakitan. Toh, kemajuan suatu kota bukan melulu soal kemodernan. Sudah saatnya kualitas hidup dan kenyamanan warga menjadi prioritas utama. Kalau tidak, nasib Bandung mungkin akan seperti DKI Jakarta yang menanggung peran terlalu banyak hingga transportasinya nyaris lumpuh. Semua karena aglomerasi penduduk dan pemusatan kegiatan yang berlebihan. Akibatnya gelar Ibu Kota pun terancam dipindahkan.

Semoga saja ke depannya para pengelola dan warga kota ini mampu bersikap lebih arif dan bijak dalam membangun dan menjaga kota ini. Kita perlu bekerja sama untuk mengembalikan pesona Bandung agar tak lekas hilang ditelan masa. Agar kecantikannya bisa tampak kembali dan senantiasa terjaga. Agar Bandungku dulu, kini, dan nanti bisa tetap dipuja. Selamat ulang tahun Bandung!!

 

Sekali lagi, selamat Ulang Tahun Bandung!!!

,

8 tanggapan untuk “200 Alasan Untuk Mencintai Kota Bandung”

  1. selamat ulang tahun Bandung!

    kalo di Bandung terkenalnya wisata belanja sih, berhubung saya tidak melihat belanja sebagai wisata, kalo ke bandung paling cari museum atau taman2 gitu 😆

Tinggalkan Balasan ke thisisrizka Batalkan balasan