Ah judulnya emang ga nyambung.
Yang jelas mah, judul di atas adalah sebait lirik yang sering saya dengar selama berpetualang mengambil data bersama kawan-kawan penikmat Alam Ciwidey.
Entah berapa puluh kali lagu tersebut didendangkan. Baik sebelum berangkat, sedang berada di puncak gunung, ataupun sekembali dari perantauan. Bosan, tentu saja tidak. Makin lama saya dengarkan akhirnya saya paham betul bahwa lagu tersebut sebenarnya menyindir, atau lebih tepatnya sebuah kekhawatiran akan mereka yang bangga menamakan dirinya pendaki gunung.
Sebuah kekhawatiran bahwa ketika seorang pendaki datang ke gunung. Ia tidak hanya membawa kebanggaan diri. Tapi juga tanda mata berupa coretan-coretan luka bekas belati yang dibenamkan dan digoreskan pada pohon-pohon. Uh… damn.
Kebanggaan yang tidak patut dibanggakan.
Gaya-gaya pendakian semacam itu harus mulai ditinggalkan. Sudah nggak jaman. Lagipula, masa ngaku-ngaku anak PA (pecinta alam atau pencinta alam, mana yang bener hayo?) yang jelas-jelas ada unsur “cinta” malah dengan seenaknya merusak.
Maka oleh karena itu, marilah kita berubah menjadi pendaki yang lebih peduli lagi pada alamnya dengan tidak meninggalkan jejak selain tapak kaki saja.
NB: berjuta terima kasih saya sampaikan kepada
Sigit mantan pacarku yang kini sama-sama sudah normal.
Uus yang seyogyanya semoga disediakan sepetak tanah di surga karena GPS-nya.
Indra dengan kekalemannya bisa membuka wacana dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot dan berguna untuk membuka pikiran bersama.
Buat kalian bertiga, salut karena alam telah berbagi ilmu pengetahuan dengan kalian.
suka mendaki gunung ya, saya dulu pernah hampir ikutan gabung di Mapala kampus tapi ngak jadi karena berbagai alasan 🙂
Klo dibilang suka, ah nggak juga. Hanya senang saja menikmati perjalanan yang jauh dari hiruk pikuk. Mendaki gunung menurut saya adalah perjalanan yang berusaha untuk tidak mengeluh.
dan yang pasti mah MAIN.
waduh, saya bukan anak PA dan tidak pernah tertarik untuk masuk PA. meskipun punya barang-barang seperti anak PA, tapi saya tidak berniat menjadi PA. yang penting barang-barangnya kepake, bukan buat gagayaan. hehehe
kadang sebuah perjalanan bisa kita maknai saat proses menempuhnya temukan kesukaran
saya yang punya hobi mendaki gunung merasa bisa memaknai cirtaan Tuhan
menyadari betapa kita itu sangat kecil di hadapan sang pencipta