Bike to Work or Work for Bike

Bike to work atau work for bike? Dua kalimat itu menggelitik saya setelah saya membaca karikatur benny & mice mengenai aktivitas beberapa warga Jakarta yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi menuju tempat kerja. Merasa ingin melakukan hal yang terbaik untuk lingkungan Jakarta, Benny pun berkeinginan untuk mencoba bersepeda. Namun sayang, berhubung ngga punya sepeda yang bagus, akhirnya Benny & Mice memutuskan untuk walk to work. Setidaknya berusaha untuk mengurangi polusi. Tapi endingnya mereka berdua malah kena semprot damprat bos karena baru nyampe kantor jam 12 dengan penampilan super ancur plus bau badan, hahaha.

Karikatur Benny&Mice membuat saya sedikit terhenyak karena keinginannya untuk bersepeda ke tempat kerja harus pupus dikarenakan musti punya sepeda yang bagus. Oke kita perbesar kasus utamanya yaitu HARUS PUNYA SEPEDA YANG BAGUS!

Hm, niat tulus mengurangi emisi karbon harus menjadi angan-angan belaka saja gara-gara gengsi. Padahal, kalau kita benar-benar berniat bersepeda untuk beberapa alasan yang positif (berhemat, olahraga, hidup sehat, atau menyelamatkan lingkungan), apapun sepedanya selama nyaman digowes saya kira tidak menjadi kendala.Tapi ga bisa begitu Gung! Ya, emang ga bisa

begitu aja, setidaknya klo menggunakan sepeda bagus sedikitnya bertambah rasa pede-nya, alias kagak malu klo banyak orang yang lihat. Percaya atau tidak, setiap kali ada pesepeda yang melintas di jalanan pastinya sepedanya dulu yang diperhatikan. Baru kemudian orangnya, itu juga kadang-kadang tergantung kehenseman dan kekecean si pengendara.

Klo kamu sendiri gimana Gung?

Well, pada awalnya saya memang tidak peduli dengan merk-merk sepeda. Karena apa? Karena saya memang nggak terlalu hapal dengan merk-merk sepeda selain yang sering muncul di tv. Waktu pertama kali menggunakan sepeda untuk saya bawa dan pakai sehari-hari di Bandung, tidak terbersit sama sekali tentang merk dan aksesoris yang dipakai. Yang penting layak gowes dan nyaman.

Saya tidak banyak mengeluh saat menggowes sepeda yang entah apa merknya itu. Justru keluhan banyak muncul dari rekan-rekan yang doyan bersepeda juga dan pernah mencoba memakai sepeda saya. Katanya berat banget.

Dipikir-pikir ternyata emang berat. Meskipun begitu saya tetap dengan setia menggunakannya hingga akhirnya datanglah kesempatan untuk menggunakan sepeda nganggur punya babe yang lumayan oke punya body dan merknya oke juga (itu juga kata babaturan). Dan apa tanggapan dari teman-teman. Penuh pujian lah pokoknya mah!!

Siapa sih yang nggak senang dipuji? Jadi makin pede deh pake sepedanya.
Kita berlanjut ke kisah nyata lainnya tentang seorang pelajar yang urung niatnya untuk ke sekolah sambil bersepeda. Jarang-jarang ada anak sekolahan bikin komunitas bike to school. Respon dari kegiatan bersepeda ini sebenarnya bagus banget, namun jurang pemisah muncul ketika siswa-siswi yang punya sepeda tapi tidak bermerk mengurungkan niat mereka untuk bergabung dalam komunitas bike to school. Apa coba alasannya? Mereka minder karena mereka hanya punya sepeda merk Federal. Salah satu merk sepeda terkenal pada era 80 – 90-an, tapi udah ga usum lagi di abad 21 mah. Sekarang mah minimal merk sepedanya harus United, atau harganya minimal pake kata juta.

Wajar lah, anak muda jaman sekarang gengsinya emang gede.
Lain lagi dengan cerita adik saya yang mulai enggan untuk gabung lagi dengan yang namanya komunitas pekerja bersepeda alias bike to work. Dia udah bosan karena setiap kali berkumpul dengan orang-orang yang patut diacungi jempol itu malah ngebahas merk sepeda, aksesoris sepeda, equipment sepeda, gaya bersepeda hingga akhirnya banding harga sepeda. Alhasil jempol yang mengarah ke atas sedikit berputar deh.

Bukan tanpa sebab juga sih, buktinya adik saya sempat menjadi korban sepedaku oke punya. Segala aksesoris tentang sepeda dia beli, seperti speedometer, lampu kelip-kelip, headlamp, helm aerodinamis, sampai tas berkapasitas lima liter dengan kantung air di dalamnya. Itu semua dia beli karena yang laen pada punya jadi dia juga musti punya. Penting ga sih punya barang-barang tersebut, menurut saya sih penting ga penting. Tergantung kebutuhan dan sifatnya ga wajib-wajib amat. Hm, wasting money deh.

Padahal, jauh dari hiruk-pikuk kota, masyarakat sub-urban alias pinggiran kota dengan penuh semangat mengayuh sepedanya tanpa mempedulikan merk apa yang mereka pakai atau berandai-andai tentang menyelamatkan bumi. Bagi mereka sepeda adalah sarana penunjang kerja sehari-hari. Mereka lah yang sebenarnya lebih pantas disematkan sebagai pekerja bersepeda.
Kembali ke judul utama yaitu bike to work atau work for bike.

Kira-kira kamu masuk kategori yang mana?

Apapun pilihanmu bersepeda lah dengan suka hati tanpa rasa dengki dan iri hati.

2 tanggapan untuk “Bike to Work or Work for Bike

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s